Oleh Martin Siyaranamual dan Teddy Harvi, Divisi Riset Ekonomi PT Sarana Multigriya Finansial (Persero)
Setelah Sektor pendidikan dan kesehatan, sektor perumahan adalah sektor yang sangat dekat dengan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Hasil studi sudah menunjukkan bahwa akses kepada hunian layak akan berdampak pada perbaikan produktivitas (Maclennan & Long, 2021) dan kesehatan mental (Pevalin et al., 2017).
Sejalan dengan per tumbuhan penduduk kelas mene ngah baru, maka akses hunian layak akan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan ekonomi.
Memiliki hunian layak melalui skema KPR adalah cara yang lazim ditemukan, akan tetapi di Indonesia, hanya 31,9% keluarga yang menggunakan skema tersebut, dan sisanya mem bayar tunai atau skema nonKPR lainnya (BPS, 2019).
Hal ini mengindikasikan bahwa KPR adalah produk keuangan yang mahal atau intermediasi perbankan belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Penyaluran KPR dari semenjak awal pandemi Covid-19 hingga akhir 2022 masih tetap tumbuh positif walaupun mengalami perlambatan. KPR tumbuh sebesar 7,82% (yoy) pada Desember 2022, sedangkan pada November berada di posisi 7,86% (yoy).
Perlambatan pertumbuhan akan terus terjadi sejalan dengan kenaikan BI 7 day Reverse Repo Rate demi menurunkan laju inflasi inti ke 3% (yoy). Sepanjang tahun 2022, BI sudah me naikkan BI7DRRR sebesar 200bps, dan inflasi inti sudah bergerak turun ke 3,09% (yoy) di Februari 2023.
Berdasarkan hasil pengamatan dari berbagai indi kator makroekonomi,
sangat mungkin untuk BI7DRRR naik sebesar 125bps di sepan jang tahun 2023. Pertumbuhan KPR memiliki peran penting dalam menjaga pertumbuhan ekonomi. Hasil kajian internal PT SMF menunjukkan bahwa sektor perumahan di Indonesia memiliki efek pengganda ke 167 sektor lainnya.
Akan tetapi dengan peran penting yang dimilikinya, rasio KPR terhadap PDB Indonesia di tahun 2022 hanya sebesar 2,99%. Jika dibandingkan dengan Malaysia yang berada di posisi 38,48%, Thailand di posisi 27,61%, dan India di posisi 6,58%, jelas bahwa kinerja penyaluran KPR di Indonesia sangat jauh tertinggal.
Selain isu kenaikan BI7DRRR, penyaluran KPR didominasi oleh bank pemerintah. Di November 2022, bank pemerintah menguasai 56,9%, diikuti oleh bank swasta nasional sebesar 38,1%, dan sisanya terbagi atas BPD, BPR, dan bank swasta asing. Untuk mendongkrak rasio KPR terhadap PDB, penguatan peran BPD dan BPR di dalam penyaluran KPR, khususnya untuk melayani segmen pekerja informal, menjadi krusial.
Ada enam langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mening katkan kinerja penyaluran KPR. Pertama, membangun basis data terpadu untuk credit scoring, di mana seluruh lembaga keuangan berkewajiban untuk menye diakan data yang dibutuhkan. Basis data ini akan mempermudah proses know your-costumer (KYC), dan menjangkau segmen pekerja informal yang dianggap unbankable.
Kedua, kewajiban bagi bank untuk memenuhi penyaluran kredit ke sektor prioritas, dan perumahan adalah salah satu sektor tersebut yang terpisah dari infrastruktur.
Ketiga, kerangka regulasi yang melindungi dan mendisi plinkan seluruh pemangku kepentingan di sektor perumahan: pengembang, penyalur kredit, konsumen KPR, dan agen real estate. Keempat, mewajibkan agar suku bunga fix tidak lebih rendah dari suku bunga floating. Pengaturan ini akan memberikan kepastian bagi konsumen terkait beban bunga KPR.
Kelima, membangun persaingan yang sehat di industri perbankan. Persaingan akan menurunkan suku bunga KPR dan memperluas cakupan penyaluran KPR. Terakhir, meminimalisir terjadinya maturity mismatch dan melakukan asset recycling melalui sekuritisasi KPR. (*) RAL