Jakarta – Konsorsium Jurnalisme Aman yang terdiri dari tiga organisasi–Yayasan Tifa, HRWG, dan PPMN, mengecam aksi teror terhadap media Tempo lewat pengiriman paket berisi kepala babi yang ditujukan kepada jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana (Cica) pada Rabu, 19 Maret 2025.
Sebagaimana diketahui, Cica adalah salah satu host program “Bocor Alus Politik” yang disiarkan Tempo. Paket tersebut baru ia buka pada Kamis sore, 20 Maret 2025.
Sebelumnya, host “Bocor Alus Politik” lainnya, Hussein Abri Dongoran, turut mengalami intimidasi yang diduga terkait dengan pekerjaan jurnalistik yang ia lakukan. Hussein mengalami dua kali perusakan kendaraan oleh orang tak dikenal, masing-masing terjadi pada Agustus dan September 2024 lalu.
Kasus ini menunjukkan pola ancaman yang berulang terhadap jurnalis dan media yang menjalankan tugas jurnalistiknya secara kritis, terutama terhadap pejabat publik atau tokoh politik tertentu.
Temuan Indeks Keselamatan Jurnalis yang dilakukan oleh Yayasan TIFA bersama Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Human Rights Working Group (HRWG) dalam Konsorsium Jurnalisme Aman menggandeng mitra riset Populix terhadap 760 jurnalis di Indonesia selama 2024 menunjukkan bahwa masih terdapat jurnalis yang mengalami kekerasan di masa transisi pemerintahan. Bentuk kekerasan tersebut di antaranya:
• 24% jurnalis mengalami teror dan intimidasi,
• 23% mengalami ancaman langsung,
• 26% mengalami pelarangan pemberitaan,
• 44% mengalami pelarangan liputan.
Teror terhadap Tempo menambah daftar panjang tindakan kekerasan dan ancaman terhadap jurnalis di Indonesia. Situasi ini sejalan dengan kemunduran kebebasan pers di Indonesia yang saat ini berada di peringkat 111 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia, turun tiga peringkat dari tahun sebelumnya.
Pengiriman paket berisi kepala babi adalah bentuk teror terhadap kebebasan pers, mencerminkan kecenderungan negara yang otoriter dan anti kritik. Ini sejalan dengan pengesahan RUU TNI, Kamis (20/3).
Koalisi Jurnalisme Aman sangat mengutuk keras tindakan ini dan meminta aparat kepolisian untuk mengusut tuntas dan menangkap pelakunya.
“Pemerintah, harus menjamin kebebasan pers dan keselamatan jurnalis di Indonesia,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Tifa, Oslan Purba, dikutip Jumat, 21 Maret 2025.
Senada dengan Oslan, Direktur Eksekutif PPMN, Fransisca Ria Susanti mengatakan jika teror terhadap kebebasan pers dibiarkan dan tidak ada upaya dari aparat yang berwenang untuk mengusut pelakunya, maka hal-hal yang lebih buruk bisa terjadi.
“Kita tidak ingin jurnalis, juga masyarakat, hidup dalam ketakutan akan ancaman dan teror hanya karena bersikap kritis terhadap kekuasaan atau punya pandangan berbeda dari pemerintah,” ucapnya.
Fransisca menegaskan bahwa setiap tindakan ancaman, intimidasi, dan kekerasan terhadap media dan jurnalis adalah pelanggaran serius bagi kebebasan pers, demokrasi, dan hak asasi manusia yang dijamin dalam UU Pers dan UU HAM.
”Apalagi, teror dengan kepala babi adalah serangan yang bersifat kultural di masyarakat Indonesia dan pelakunya wajib dipidana dengan UU Anti Diskriminasi Ras dan Etnis,” imbuh Direktur Eksekutif HRWG, Daniel Awigra.
Konsorsium Jurnalisme Aman menilai, meskipun tidak ditemukan pesan tertulis dalam paket tersebut, simbol kepala babi yang terpotong jelas dimaksudkan untuk mengintimidasi Tempo dan media lainnya yang selama ini menyuarakan kritik.
Secara jelas dalam Pasal 2 Undang-undang Pers No.40 Tahun 1999, yang berbunyi “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.”
Kebebasan pers adalah pengejawantahan kekuatan rakyat. Apabila jurnalis dan media terus dirisak, kehidupan bernegara yang demokratis akan menjadi angan belaka. Menilik situasi di atas, Konsorsium Jurnalisme Aman juga mendesak tiga hal, yakni:
- Aparat penegak hukum untuk segera mengusut tuntas kasus ini dan mengungkap pelaku serta aktor intelektual di balik teror ini.
- Pemerintah untuk menjamin perlindungan terhadap jurnalis dan media yang menjalankan tugas jurnalistiknya sesuai dengan Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999. Terkhusus, Dewan Pers dapat memaksimalkan kewenangannya yang independen untuk terus mengawasi dan mendorong perlindungan kebebasan pers yang substansial.
- Seluruh elemen masyarakat untuk terus mendukung kebebasan pers dan menolak segala bentuk intimidasi terhadap jurnalis. SW