Kehadiran Prabowo di Hari Buruh, Kekalahan Kaum Buruh Melawan Oligarki?

Oleh: Mikail Mo, Pengamat Ekonomi Politik dari The Asian Institute for Finance & Capital Market

BURUH dan Oligarki. Dua kutub yang berbeda. Juga, dua kepentingan yang berbeda pula selayaknya teori agency.

Nah, jika mengacu pada pandangan Lenin tentang perjuangan kelas dan proletariat. Lenin, sebagai tokoh revolusi Bolshevik, memperjuangkan hak-hak buruh dan menentang kapitalisme oligarki.

Dalam konteks Indonesia, Prabowo Subianto, sebagai figur politik yang kontroversial, sering diasosiasikan dengan kekuasaan elit dan oligarki. Penampilannya di May Day, hari peringatan buruh internasional, menjadi simbol yang ironis, mengingat bahwa ia mewakili kepentingan kelas yang berseberangan dengan buruh.

SIMBOLISME DAN ABSURDITAS

Tindakan Prabowo melepaskan baju dan melemparkannya kepada massa buruh dapat ditafsirkan sebagai simbolisasi dari kekuasaan yang merendahkan. Buruh yang berebut baju tersebut mencerminkan kondisi ekonomi yang memaksa mereka untuk berjuang mendapatkan apa pun yang dapat meningkatkan kehidupan mereka, bahkan jika itu berasal dari tangan musuh kelas mereka.

Ini menciptakan absurditas dalam perjuangan buruh, di mana mereka terjebak dalam sistem yang menindas mereka, sekaligus berusaha untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan dari elit yang menindas mereka.

Kelas Oligarki dan penindasan buruh masih berlangsung dan korban PHK juga tampak tertatih-tatih memperjuangkan hak-haknya. Pernyataan tersebut mencerminkan kritik tajam terhadap oligarki kapitalis yang terus mengisap sumber daya dan penghidupan kelas buruh.

Dalam konteks ini, Prabowo sebagai representasi dari kelas oligarki, dianggap tidak memiliki kepedulian terhadap nasib buruh. Tindakan simbolisnya justru memperkuat posisi oligarki, yang mengklaim diri sebagai penyelamat atau pahlawan, sementara pada kenyataannya mereka adalah bagian dari sistem yang menindas. Kaum buruh dijadikan simbol keberpihakan pada kepentingan rakyat.

Reaksi buruh yang berebut baju dapat dilihat sebagai refleksi dari kondisi psikologis mereka. Di satu sisi, ada semangat juang dan solidaritas yang ditunjukkan dengan nyanyian “Internasionale”, yang merupakan lagu perjuangan buruh.

Namun, di sisi lain, hal ini mencerminkan ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi realitas sosial dan ekonomi yang menindas. Ini menunjukkan perlunya kesadaran kelas yang lebih tinggi di kalangan buruh untuk memahami posisi mereka dalam struktur sosial dan ekonomi yang lebih luas.

Hari-hari ini buruh masih berebut rejeki “receh” di tanah yang subur ini. Posisinya masih rentan di dalam kontek UU Omnibus Law.

Boleh jadi ini menggambarkan sebuah realitas sosial politik yang kompleks di mana simbol-simbol perjuangan buruh digunakan oleh kekuatan yang menindas mereka.

Ini menggarisbawahi perlunya refleksi kritis terhadap peran politik dan ekonomi dalam perjuangan kelas, serta pentingnya membangun kesadaran kolektif di kalangan buruh untuk melawan penindasan dan memperjuangkan hak-hak mereka.

Dalam konteks ini, pernyataan tersebut menjadi panggilan untuk merenungkan kembali strategi dan tujuan perjuangan buruh di era modern yang dipenuhi dengan tantangan dan ironi.

Pertanyaanya: apakah elit kaum buruh juga sudah “berubah” menjadi bagian dari kepentingan oligarki? Atau, kaum buruh sudah dijadikan “ondel-ondel” kepentingan elit buruh dan politik transaksional.

Akhirnya, rebutan baju Presiden Prabowo oleh kaum buruh dapat dibaca sebagai “kalahnya” kaum buruh dalam kontek kelas buruh dan oligarki yang hidup “subur” di Indonesia.

Selamat Hari Buruh 2025.

Hari BuruholigarkiPrabowo Subianto
Comments (0)
Add Comment