Jakarta— Di Indonesia, pemanfaatan maggot atau larva lalat sebagai pakan ternak belum begitu populer dan tak banyak ditemukan.
Belatung berukuran besar yang dikenal dengan larva lalat jenis black soldier fly (BSF) ini justru sangat berguna dijadikan sebagai pakan ternak. Bahkan, hasil pengolahan maggot ini mengandung protein tinggi yang sangat baik bagi pertumbuhan hewan ternak.
Apa yang dilakukan oleh Rendria Labde, Founder dan CEO dari Magalarva adalah sebuah gebrakan baru. Pria berdarah Bali ini berhasil menyulap maggot, larva lalat yang dianggap kotor dan menjijikkan menjadi pilihan terbaik bagi peternak hewan.
Selain memiliki nilai nutrisi tinggi, biaya produksi dari budidaya belatung juga relatif rendah karena hanya mengandalkan sampah organik sebagai media tumbuh kembang belatung.
“Kita mengolah sampah makanan di mana kita ubah untuk menjadi protein pakan ternak menggunakan spesies maggot dari lalat BSF. Basically, food waste akan dimakan oleh maggot itu, yang nanti maggot ini akan bertumbuh jadi besar. Dan kita jual untuk pakan ternak bisa untuk ikan, ayam, bebek dan all the way bisa untuk pakan peliharaan seperti burung, anjing dan kucing,” kata Rendria saat dikunjungi The Asian Post, Rabu (6/7/2024).
Berawal dari riset yang ia lakukan pada 2018, Rendria Cs melakukan serangkaian uji coba budidaya larva lalat dengan memanfaatkan sampah organik yang ada. Ia pun menjual hasil olahan maggot dalam jumlah kecil. Lambat laun, bisnis seperti ini ternyata sangat menjanjikan.
Rendria kemudian memberanikan diri membuka lokasi usaha budidaya belatung di wilayah Gunung Sindur, Tangerang. Dalam sehari, startup rintisan Magalarva yang ia bangun mampu menghasilkan 1 ton maggot per hari dari total pengolahan sampah yang mencapai 10 ton.
“Dulu sampah yang kita olah cuma 20 kg per hari. Sekarang itu sekitar 9-10 ton sampah per hari. Kita lagi on the way ke arah 12 ton untuk bisa mengolah sampah lebih banyak,” terangnya.
Rendria menuturkan, sampah yang diperoleh biasanya berasal dari tempat pembuangan sampah (TPS), hotel, restoran, dan dan waste collector. Sampah tersebut selanjutnya disortir dan dilumatkan.
Setelah itu, olahan sampah ditaruh dalam keranjang di setiap rak pengembangbiakan. Larva yang telah dikumpulkan dari hasil perkawinan lalat BSF ditempatkan di keranjang olahan sampah.
Hanya dalam waktu 9 hari, maggot tersebut sudah besar dan siap untuk dipanen. Larva BSF ini kemudian dibersihkan. Proses membersihkan maggot tidak menggunakan air, melainkan dengan cara diputar menggunakan mesin.
Selanjutnya, jutaan maggot dikeringkan, sebagian di antaranya di-pressure untuk dijadikan tepung olahan bagi pakan ternak. Sementara 1 persen dari total produksi per hari dibiarkan menetas untuk dikembangbiakkan. Maggot yang sudah kering tersebut selanjutnya melalui tahapan quality control, dikemas, dan dikirim ke distributor pakan ternak.
Meski lokasi budidaya maggot milik Rendria terlihat banyak tumpukan sampah, namun tak menggambarkan kesan yang jorok. Ruangan penyortiran, pengolahan, pengembangbiakan lalat dan maggot, hingga pengemasan, terorganisir secara teratur. Setiap rak tertata rapi dan tidak ada sampah yang berserakan.
Perlu diketahui, Magalarva merupakan salah satu perusahaan yang mendapatkan bantuan dari PT Bank DBS Indonesia melalui DBS Foundation dengan kucuran dana hibah sebesar 200.000 dollar Singapura.
Melalui pemberian dana hibah DBS Foundation Business for Impact Grant Award Programme, Bank DBS Indonesia mendukung misi pelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat.
“Dengan dana hibah ini kami akan membeli mesin yang bisa mengefisiensikan performance bisnis kita juga. Nggak Cuma meningkatkan kapasitas tapi juga meningkatkan efisiensi, missal dari manpower dengan menambah soft skill atau listrik semua operasional efisiensi. Sekarang di lokasi ada 25-20 orang, tapi kita banyak berdayakan orang-orang di sekitar yang dibayar harian,” pungkasnya.
Jadi DBS Foundation menilai bahwa bisnis belatung Magalarva ini memiliki business model yang jelas, bisa berkembang dan terukur (grow & scalable), serta memiliki dampak sosial lingkungan yang cukup tinggi saat menjalankan bisnis. (*) Ranu Arasyki Lubis