Oleh Agus Somamihardja, Ph.D., alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Asian Institute of Technology (AIT) Thailand.
PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) lahir dari niat mulia: agar anak-anak tak belajar dengan perut kosong. Namun ternyata, niat baik itu bisa saja kehilangan makna ketika terseret ke dalam pusaran birokrasi.
Di banyak tempat, kabar yang muncul tidak seperti harapan. Kasus keracunan muncul di berbagai daerah. Ada dapur darurat tanpa standar higienitas. Distribusi makanan bisa menempuh perjalanan berjam-jam tanpa pendingin. Banyak sekolah mulai menolak program. Ada yang menolak karena sebagian siswanya berasal dari keluarga mampu. Ada yang menilai pelaksanaannya menambah beban guru yang sudah kewalahan mengajar dan mengurus administrasi.
Ironisnya, suara dari bawah jarang didengar. Evaluasi sering dianggap pembangkangan. Kritik diperlakukan seperti dosa. Padahal, tanpa mau mendengar kenyataan di lapangan, niat baik itu bisa berubah cepat menjadi pemborosan berjamaah.
Mengapa Tidak Dimulai dari Kantin Sekolah?
Guru dan murid sudah saling mengenal. Dapur mudah diawasi, kebersihan bisa dikontrol. Pemerintah cukup menetapkan standar gizi, memberi pelatihan, dan membantu bahan baku. Tak perlu dapur besar dan distribusi berbelit.
Jika dapur sekolah menjadi solusi internal, maka warteg dan rumah makan Padang pun bisa menjadi mitra eksternal yang tangguh. Selama bertahun-tahun mereka terbukti mampu menyediakan makanan bergizi, cepat, dan murah. Pemerintah cukup mengontrak mereka secara transparan dengan standar mutu dan pengawasan jelas. Hasilnya: UMKM kuliner tumbuh, biaya efisien, dan mutu terjamin.
Program sebesar MBG semestinya menjadi ruang partisipasi masyarakat, bukan proyek birokrasi. Orang tua, terutama para ibu, bisa dilibatkan dalam pengawasan harian. Bahan baku sebaiknya dipasok dari petani dan peternak lokal. Dana bisa berputar di desa, bisa menumbuhkan ekonomi sekitar sekolah, dan memperkuat ketahanan pangan daerah.
Untuk anak dari keluarga yang mampu, beri pilihan: tetap ikut MBG atau membawa bekal sendiri. Langkah kecil ini bisa meringankan anggaran sekaligus menumbuhkan empati. Anak-anak dapat saling berbagi bekal, belajar menghargai perbedaan di meja makan yang sama.
Triliunan rupiah yang dialokasikan untuk MBG perlu dikaji ulang manfaat dan efektivitasnya. Anggaran sebesar itu bisa juga memperbaiki ribuan sekolah yang rusak. Bisa memberi beasiswa bagi anak miskin, bisa menjangkau anak jalanan yang bahkan tak punya seragam.
Apakah karena mereka tidak bersekolah, maka anak jalanan tak dihitung sebagai anak bangsa sehingga diabaikan begitu saja? Bukankan tujuan utamanya program adalah anak Indonesia sehat dan cerdas? Maka semua anak, sekolah maupun tidak, layak mendapat perhatian negara.
Hindari Jadi “Program Bancakan”
Tanpa koreksi dan transparansi, MBG mudah tergelincir menjadi “program bancakan.” Bahkan FAO (2021) dan WHO (2022) menegaskan bahwa keberhasilan program makan sekolah sangat ditentukan oleh pengawasan lokal dan partisipasi komunitas, bukan sentralisasi pengadaan oleh segelintir pihak.
Niat baik tidak akan dianggap baik bila uang rakyat tidak digunakan dengan benar. Di masyarakat mulai terdengar sindiran getir: “Program makan gratis yang megah itu akhirnya cuma jadi feses di toilet.” Kalimat itu memang kasar, tapi di baliknya ada jeritan publik: uang negara habis tanpa hasil nyata.
Agar program megah MBG tidak hanya menghasilkan feses, ada beberapa masukan yang bisa dikerjakan pemerintah.
Satu, jadikan kantin sekolah sebagai dapur utama MBG, dengan standar higienis, menu bergizi, dan tenaga masak yang terlatih. Sekolah harus menjadi pusat pembelajaran gizi, bukan sekadar titik distribusi makanan.
Dua, gandeng warteg dan rumah makan lokal sebagai mitra resmi melalui kontrak transparan dan berbasis kinerja, agar UMKM kuliner ikut tumbuh.
Tiga, libatkan Kemenkes dan Puskesmas dalam pelatihan, pengawasan, serta evaluasi mutu pangan di setiap wilayah.
Empat, gunakan bahan baku lokal dari petani dan peternak sekitar, supaya dana program berputar di desa, bukan hanya di kota.
Lima, aktifkan pengawasan partisipatif. Guru, orang tua, dan siswa bisa menjadi penjaga mutu dan moral program ini setiap hari.
Enam, berikan pilihan bagi keluarga mampu untuk membawa bekal sendiri agar anggaran lebih tepat sasaran dan menumbuhkan solidaritas.
Tujuh, tinjau ulang alokasi anggaran MBG, arahkan sebagian untuk memperbaiki sekolah rusak, beasiswa anak miskin, dan gizi anak nonsekolah yang paling rentan.
Penting jadi catatan, anak-anak tidak membutuhkan simbol besar; mereka hanya butuh makan siang yang aman, sehat, dan bermartabat. Kehadiran negara seharusnya terasa di piring sederhana: nasi dari petani lokal, sayur dari kebun sekitar, lauk dari dapur ibu-ibu sekolah.
Di meja itu, semua kelas sosial duduk Bersama. Di sanalah keadilan sosial menemukan bentuk paling nyata. Kantin sekolah, warteg, dan nasi Padang mungkin sederhana, tapi di sanalah cita-cita MBG benar-benar menemukan maknanya. (*)