Jakarta— Negeri ini memang paling suka bikin lembaga. Kali ini lembaga baru terkait investasi. Namanya: Tim Khusus Penghambat Investasi.
Kenapa bukan Tim Khusus Pemberantasan Penghambat Investasi ya? Adalah Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang bermimpi ingin membentuk lembaga baru tersebut.
Lembaga tersebut bertugas melakukan kajian khusus untuk mengevaluasi regulasi yang berpotensi menghambat investasi ke Indonesia.
Tim ini dibentuk karena melihat kondisi ekonomi global yang masih tidak kondusif.Tim ini juga untuk membantu mengejar target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% sesuai yang dicita-citakan Presiden Prabowo Subianto.
“Saya percaya dengan koordinasi yang solid antara DEN, Kemenko Perekonomian, dan seluruh Kementerian/Lembaga terkait, kita mampu menghadirkan kebijakan yang lebih efektif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional serta utamanya memberi manfaat luas bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia,” ujar LBP di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (18/5).
Untuk mencapai target 8%, kata LBP, perlu didorong dengan upaya merevitalisasi industri padat karya, percepatan investasi, hingga penguatan infrastruktur digital publik supaya penciptaan lapangan kerja juga meningkat.
“Ini bukan target mudah. Tapi saya yakin dengan strategi yang tepat, kita bisa mencapai misi besar Presiden Prabowo,” tegas LBP.
Sementara itu, menurut Airlangga, Kemenko Perekonomian dan DEN juga akan mendorong review terhadap kebijakan tax holiday, dalam mengantisipasi adanya global minimum tax 15% di mana akan berkoordinasi lebih lanjut dengan Kementerian Keuangan, kebijakan insentif PPN DTP Mobil Listrik Hybrid, hingga penguatan KEK eksisting dan percepatan penetapan usulan KEK.
Menurut The Asian Post Research, ada beberapa hal yang menjadi penghambat dan pengganggu investasi di Indonesia.
Sehingga, banyak investor hengkang dari Indonesia, pindah ke Thailand, Vietnam, dan negara-negara lain yang mampu memberikan iklim yang kondusif untuk usaha.
Satu, lemahnya kepastian hukum. Banyak investor asing dan lokal mengeluh karena regulasi terkait bisnis bisa berubah. Sementara, investor membuat plan untuk jangka panjang. Kondisi ini sering merugikan investor di tengah jalan.
Dua, tingginya biaya tenaga kerja. Dengan biaya tinggi, production cost menjadi membengkak, sehingga produk yang dihasilkan kurang kompetitif.
Tiga, banyaknya pungutan, baik dari pungutan resmi maupun liar, yang dilakukan oleh pemerintah, oknum pemerintah, maupun LSM.
Seperti menjelang Lebaran seperti sekarang ini, ada LSM yang berani menutup pabrik gara-gara tidak diberi THR.
Empat, produktivitas rendah. Tenaga kerja Indonesia kurang disiplin dalam hal memanfaatkan waktu kerja, sehingga menjadi kurang produktif. (DW)