Karnoto Mohamad, Pemimpin Redaksi The Asian Post
PRESIDEN Prabowo Subianto berambisi mencetak pertumbuhan ekonomi 8 persen. Modal politik yang kuat sudah dimiliki untuk mewujudkan ambisi tersebut.
Hampir seluruh partai politik (parpol) berada dalam pemerintahan. Karena pemerintahan cukup kuat, peristiwa kerusuhan yang terjadi di penghujung Agustus 2025 berhasil diredam. Tidak sampai menyeret Indonesia ke krisis politik, seperti pernah terjadi pada 1965 dan 1998.
Namun, kekecewaan masyarakat yang melatarbelakangi aksi demonstrasi menunjukkan adanya masalah ekonomi. Dan jika masalah ekonomi tidak teratasi, itu bisa menjadi “api dalam sekam” yang bisa melahirkan krisis politik.
Seperti terjadi di Nepal, yang pemerintahannya ambruk diserbu rakyatnya yang tertekan kehidupan ekonominya.
Pertanyaannya, mengapa pemerintahan Prabowo yang kuat malah menghasilkan kondisi ekonomi yang mengecewakan masyarakat?
Menurut Biro Riset Infobank dalam kajian Financial and Banking Outlook 2026, dengan modal politik yang kuat pemerintah harus lebih fokus mengatasi masalah utama ekonomi Indonesia yaitu kemiskinan dan ketimpangan.
Angka kemiskinan Indonesia versi Bank Dunia yang mencapai 171,8 juta atau 60,3 persen dari populasi seharusnya tak perlu diperdebatkan, dan justru memotivasi pemerintah untuk lebih bekerja keras mengatasi problem kemiskinan.
Bukan merasa puas dengan angka kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025 yang hanya 23,85 juta orang atau 8,47 persen dari populasi.
Sejak pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), negara terlalu berdiri di depan dalam pembangunan ekonomi. Hal itu terlihat dari kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dikerahkan untuk mendukung program-program pemerintah yang bermuatan politik hingga tertimbun utang.
Posisi utang pemerintah melonjak dari Rp2.608,78 triliun pada 2014 menjadi Rp4.778,60 triliun pada 2019 dan 8.680,13 triliun pada 2024. Begitu juga BUMN yang banyak tertimbun utang dan akhirnya bersandar kepada APBN.
Selama periode 2015-2024 atau sepanjang pemerintahan Jokowi, negara telah menggelontorkan penanaman modal negara (PMN) kepada BUMN dengan total Rp424,73 triliun. Sementara deviden yang disumbangkan BUMN sebesar Rp496,76 triliun. Artinya, deviden bersih yang diterima pemerintah dari seluruh BUMN hanya Rp72,03 triliun.
Menurut Biro Riset Infobank, karena masalah utama Indonesia adalah ekonomi, maka pemerintah seharusnya mengedepankan kepentingan ekonomi daripada kepentingan politik.
Apabila pemerintah mengutamakan kepentingan ekonomi dalam kebijakannya, indikasinya adalah sebagai berikut:
Satu, kabinet akan lebih banyak diisi oleh para pakar dan profesional di bidangnya serta menerapkan sistem meritokrasi untuk memastikan orang-orang berprestasi yang menduduki posisi penting. Kalaupun unsur-unsur politik masuk dalam pemerintahan, seharusnya mereka bekerja untuk kepentingan bangsa Indonesia dan bukan untuk golongan-golongan tertentu yang dia terikat di dalamnya.
Dua, APBN dialokasikan lebih banyak untuk membangun kesejahteraan masyarakat dan kebijakan yang dimuat diarahkan untuk menstimulasi penguatan permintaan pasar untuk menggairahkan investasi dan sektor swasta.
Bukan program-program yang bermuatan politik. Apalagi, proyek-proyek yang menimbulkan beban berat APBN tapi dipaksakan berjalan lantaran ada kepentingan politik maupun menimbulkan rente ekonomi.
Tiga, BUMN didorong menjadi lokomotif pembangunan sekaligus profit center. Bukan agen pembangunan yang dihujani intervensi dan harus menjalankan berbagai proyek-proyek pemerintah. Agen pembangunan adalah bahasa positif untuk melindungi bentuk-bentuk intervensi.
Kendati untuk tujuan pembangunan, intervensi ini tidak ada dasarnya dalam praktek di public company. Perusahaan BUMN sahamnya sudah dimiliki publik, maka kepentingan semua pemegang saham harus dijaga, bukan hanya pemerintah.
Jadi, agar pemerintah bisa mewujudkan cita-citanya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 8 persen, yang menjadi panglima adalah ekonomi, bukan politik. Pemerintahan Prabowo Subianto memiliki modal politik yang kuat dan seharusnya bisa fokus kepada kepentingan ekonomi untuk membangun negara yang bisa memberikan kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia.
Intervensi negara boleh dilakukan umumnya dalam kondisi tertentu. Satu, kondisi krisis dimana sektor swasta tidak berdaya dan ada potensi kegagalan pasar. Contohnya, saat terjadi pandemi COVID-19 pada 2020 hingga 2022. Saat itu sektor swasta terkapar dan untuk membangkitkan dunia usaha dan menjaga daya beli masyarakat, maka pemerintah harus mengucurkan dana melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan realisasi Rp575,9 triliun pada 2020, Rp655,1 triliun pada 2021, dan Rp396,7 triliun pada 2022.
Dua, kondisi ketimpangan ekonomi yang signifikan dimana masyarakat papan bawah sulit mendapatkan akses ekonomi atau bersaing dalam ekonomi pasar sehingga butuh campur tangan negara misalnya melalui program bantuan sosial, subsidi, dan kredit program.
Contohnya sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang masih harus dibantu oleh pemerintah. Sebab, 98,80 persen pelaku UMKM adalah segmen mikro yang tidak memiliki akses ke perbankan karena tidak bankable.
Begitu juga daerah 3T (terbelakang, terluar, dan terdepan) yang kurang berkembang.
Intervensi negara terbukti mampu memperbaiki kegagalan pasar, menyediakan barang publik, menjaga stabilitas ekonomi dalam kondisi abnormal, serta memeratakan distribusi pendapatan.
Tapi dampak negatifnya adalah pasar menjadi tidak efisien, hambatan inovasi akibat regulasi berlebihan, serta menciptakan defisit anggaran jika tidak dikelola dengan baik sehingga malah memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Simak saja pembangunan ekonomi 20 tahun terakhir. Pertama, dekade pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 2005-2014. Karena memaksimalkan peran swasta untuk mendorong supply dan demand, strategi pembangunan ekonomi pemerintahan SBY mendorong pertumbuhan ekonomi ke level yang cukup tinggi.
Pertumbuhan produk domestic bruto (PDB) pernah mencapai di atas 6 persen yaitu pada 2007, 2008, 2010, 2011, dan 2012. Rata-rata pertumbuhan PDB pada 2005 hingga 2014 mencapai 5,71 persen per tahun.
SBY menggunakan kebijakan fiskal untuk mendorong permintaan pasar. Contohnya, subsidi bahan bakar minyak (BBM) selama 10 tahun yang mencapai sekitar Rp1.000 triliun. Subsidi tersebut memang ikut dinikmati kelas menengah, tapi terbukti mampu mendorong peningkatan mobilitas masyarakat dan menstimulasi permintaan pasar sehingga masyarakat papan bawah kecipratan dampak berantainya.
Kendati ekonomi sempat mengalami overheating karena demand lebih besar daripada supply, industri perbankan bisa menikmati pertumbuhan kredit perbankan hingga rata-rata 21,52 persen per tahun, bahkan saat itu terjadi booming kredit mikro.
Kedua, dekade pemerintahan Jokowi pada 2015 hingga 2024. Pertumbuhan ekonomi tidak pernah mencapai 6 persen, bahkan rata-rata pertumbuhan PDB hanya 4,21 persen per tahun dan jika tanpa menghitung tahun pandemi 2020 yang ekonomi terkontraksi 2,07 persen, rata-rata pertumbuhan sebesar 4,91 persen per tahun.
Jokowi menggunakan APBN dan BUMN untuk mencari utang guna membangun infrastruktur dan tidak menggerakan sektor swasta. Kredit perbankan loyo hanya tumbuh 8,01 persen per tahun. Kredit di segmen mikro melambat kendati pemerintah mengobral kredit program lebih deras lagi.
Lantas, bagaimana dengan pemerintahan Prabowo Subianto yang menyatakan diri sebagai rezim keberlanjutan Jokowi yang hanya mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 4,21 persen?
Akankah kebijakan ekonomi yang masih memerankan “dominasi” negara mampu menghasilkan pertumbuhan 8 persen pada 2029? Seperti apa prediksi pertumbuhan ekonomi 2026 dan kemana kredit perbankan akan mengalir? Simak selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 570 Oktober 2025.