Oleh Agus Somamihardja, Ph.D., alumnus Asian Institute of Technology (AIT) Thailand dan Institut Pertanian Bogor (IPB).
NEGARA adalah rumah besar. Rakyat adalah pemiliknya. Pemerintah hanyalah pengelolanya.
Tapi entah bagaimana, si pengelola kini seperti mulai bertingkah. Dia seakan telah menjelma menjadi Tuan dan Nyonya Besar di rumah.
Dia mulai mengatur siapa boleh masuk ruang ke tamu. Siapa harus duduk di teras. Siapa boleh leluasa bicara, atau bahkan berjingkrak-jingkrak di dalam rumah.
Dua ribu lima ratus tahun lalu, Plato sudah memberi peringatan. Dan masih relevan hingga kini. Dalam karyanya The Republic, ia menegaskan bahwa negara yang sehat hanya mungkin terwujud bila dipimpin oleh seorang philosopher-king.
Pemimpin yang bukan sekadar berkuasa, melainkan bijak, jujur, dan rela memikul beban demi kebaikan bersama.
Seorang filsuf-raja, kata Plato, adalah sosok yang menempatkan kebenaran dan keadilan di atas kepentingan pribadi. Ia bukan hanya menguasai ilmu, tetapi juga mampu mengendalikan nafsu, ambisi, dan godaan harta.
Dengan kata lain, kepemimpinan sejati tidak lahir dari syahwat berkuasa, melainkan dari keberanian untuk melayani rakyat dan menjaga harmoni negara.
Kita di sini, justru kini memilih pemimpin seperti memilih bintang iklan. Yang senyumnya dibuat manis di baliho. Yang viral di media sosial. Atau yang fotonya nempel di sembako.
Akibatnya, kompas moral negara berputar-putar seperti kipas angin rusak. Berisik, ramai bunyinya, tapi tak membawa arah.
Hobbes, filsuf Inggris abad ke-17, menulis dalam bukunya, Leviathan. Bahwa tanpa negara yang kuat dan netral, manusia hidup dalam “perang semua melawan semua.” Namun, kontrak sosial itu rapuh jika negara berpihak.
Di negeri ini, rasa berpihak itu sering tercium, kadang samar dan seringkali jelas menyengat.
Coba lihat laporan. Indeks Persepsi Korupsi Transparency International 2024 menempatkan Indonesia di skor 34 dari 100, turun dari 38 pada 2019.
Artinya, persepsi publik tentang korupsi di negeri ini semakin memburuk. Rakyat melihat bahwa praktik rente, suap, dan penyalahgunaan kekuasaan bukan semakin berkurang, melainkan kian merajalela.
Ketika korupsi dibiarkan, ketimpangan ekonomi juga ikut melebar. Gini rasio Indonesia masih bertahan di sekitar 0,39–0,40 dalam lima tahun terakhir, menandakan bahwa buah pembangunan tidak dinikmati secara merata.
Data BPS menunjukkan, 1% penduduk terkaya menguasai lebih dari 50% aset finansial negeri ini.
Sementara jutaan keluarga miskin masih berjuang sekadar untuk makan layak setiap hari.
Kondisi ini memperlihatkan benang merah yang jelas: korupsi mempercepat konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang. Anggaran publik yang seharusnya dipakai untuk membangun sekolah, memperbaiki layanan kesehatan, atau memberdayakan petani, justru bocor di meja birokrat dan elite politik.
Rakyat dipaksa membayar lebih melalui pajak, tarif, atau utang, sementara para pejabat dan oligark menumpuk harta
Hukum pun terasa seperti jas yang dijahit khusus untuk orang tertentu. Yang miskin kebagian rombengnya, sementara yang kaya bisa pesan sesuai ukuran dan seleranya.
Tidak heran bila rakyat mulai merasa lebih aman mengandalkan dirinya sendiri ketimbang berharap perlindungan negara.
Rousseau, filsuf Prancis abad ke-18, mengajarkan bahwa kedaulatan itu milik rakyat. Pemerintah hanyalah pelayan dari general will, atau kehendak umum.
Kalau pelayan mulai mengatur majikan, itu tanda rumah sudah terbalik. Demokrasi kita kadang mirip pesta kembang api: meriah lima tahun sekali, lalu gelap gulita setelahnya.
Data partisipasi politik di luar pemilu menunjukkan betapa minimnya keterlibatan publik dalam perumusan kebijakan. Rakyat hanya dipanggil lima tahun sekali untuk mencoblos, setelah itu suara mereka seakan tak lagi penting.
Akibatnya, banyak keputusan strategis lahir tanpa menimbang aspirasi mayoritas. Kita menyaksikan sendiri bagaimana kebijakan kontroversial terus dipaksakan di tengah penolakan luas masyarakat.
Jika pemerintah memilih buta dan tuli terhadap suara rakyat, dan pola ini terus dibiarkan, demokrasi kita akan kehilangan makna.
Demokrasi berganti wajah menjadi otoritarianisme prosedural: sah secara hukum, tetapi kering dari legitimasi moral. Rakyat akan apatis, konflik horizontal mengintai, dan legitimasi negara terkikis dari dalam.
Data LIPI pernah mengingatkan: ketika kepercayaan publik pada negara jatuh di bawah 50%, instabilitas sosial mudah meledak, seperti rumah retak yang dibiarkan hingga roboh.
Kasus pajak di Pati, dengan tuntutan rakyat agar bupati mundur, adalah wujud kemuakan yang nyata. Rakyat dipaksa membayar lebih di tengah hidup terjepit, sementara pejabat bersembunyi di balik dalih aturan.
Protes yang merebak menegaskan: kebijakan lahir bukan dari ruang dialog, melainkan dari ruang tertutup kekuasaan.
Plato akan bilang, “Kalian kehilangan pemimpin yang bijak.”
Hobbes akan menegur, “Kalian membiarkan kontrak sosial robek.”
Rousseau akan menatap heran, “Kalian merelakan kedaulatan kalian digadai.”
Ketiganya sepakat: ini resep menuju negara yang pincang berjalan, lalu tersungkur di jalan sejarah.
Tapi kita masih punya pilihan sebelum sampai ke titik itu.
Tentu bukan sekedar menunggu datangnya tokoh penyelamat. Pilihan yang lahir dari kesadaran kolektif bahwa negara ini milik bersama.
Bahwa pemimpin dipilih bukan karena lucu di panggung. Negara dipercaya bukan karena pandai bikin slogan. Dan rakyat berdaulat bukan hanya di bilik suara.
Kalau tidak, kita akan terus sibuk mengeluh di ruang tamu rumah ini. Dan pelan-pelan kita kehilangan kunci di rumah kita sendiri.
Dan ketika pintu terkunci rapat, kita baru sadar bahwa rumah ini bukan punya kita lagi. (*)