Jakarta— Ancaman kejahatan siber di industri jasa keuangan masih menjadi hal yang paling menakutkan hingga saat ini.
Setiap detiknya, transaksi keuangan dapat dialihkan, dimanipulasi, dan identitas nasabah bisa diperjual belikan tanpa disadari.
Kasubdit I Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Pol Jeffri Dian Juniarta mengatakan, dinamika keamanan siber menjadi isu utama yang kini menjadi prioritas kepolisian mengingat intensitas serangannya yang makin tinggi.
Hal itu ia sampaikan dalam acara “Satisfaction, Loyalty, and Engagement Award 2024” yang digelar Infobank di Jakarta, pada Kamis (1/2/2024).
Jeffi mengungkapkan, jika dilihat sepanjang 2019-2022, tren serangan siber terus menanjak.
Indonesia telah digempur oleh 370,02 juta serangan siber di 2022, naik dibandingkan 2020 di mana terdapat 266,74 juta kejahatan siber yang dilaporkan.
Sementara pada 2023, jumlah pelaporan sempat turun menjadi 279,8 juta laporan, dan tidak menutup kemungkinan akan terus bertambah di tahun selanjutnya.
Mengutip data dari Tren Micro tahun 2023, lanjutnya, terdapat 9.034 kasus serangan ransomware yang mengincar industri perbankan.
Perbankan merupakan sasaran paling banyak yang diincar serangan ransomware dibandingkan industri lainnya seperti transportasi dan retail.
“Sementara , berdasarkan data International Monetary Fund (IMF) tahun 2020, estimasi total kerugian rerata tahunan akibat serangan siber yang dialami sektor jasa keuangan secara global sebesar US$100 miliar atau lebih dari Rp1.433 triliun,” ujar Jeffr.
Jeffri bilang, salah satu alasan sulitnya menangani kejahatan jenis ini disebabkan para korban atau perusahaan yang diserang tidak mau membuat laporan. Kata dia, banyak di antara perusahaan keuangan yang tidak ingin kasus semacam itu diketahui publik lantaran tak ingin nama perusahaannya tercemar.
“Kesulitan yang paling besar adalah rata-rata sektor jasa keuangan yang kehilangan tidak mau membuat laporan polisi karena apa? Mungkin takut kepercayaan publik [berkurang]. Dan memang tidak gampang memberikan keyakinan kepada korban untuk melapor, khususnya teman-teman perbankan. Kerja sama, meningkatkan koordinasi dengan pemerintah swasta, masyarakat dan negara lain dalam penanganan siber,” jelasnya.
Jika serangan kepada perusahaan dilakukan melalui sistem, beda halnya dengan serangan yang kerap menyasar nasabah. Para hacker biasanya menyasar melalui sim card swap, web phising, carding, mod aplikasi mobile phone/APK, dan pencurian identitas nasabah. Maka dari itu, perlunya meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya menjaga sistem dan keamanan pribadi.
Di sisi lain, Jeffri meminta para pelaku jasa keuangan dapat dapat saling bahu membahu menuntaskan ancaman ini. Ia mencontohkan bagaimana seriusnya penanganan kejahatan siber yang ada di Amerika serikat. Di sana para stakeholders dari private sector berkumpul untuk membahas hal-hal yang akan merugikan ekonomi industri negaranya. Jadi apabila ada serangan terhadap salah satu bank atau private sector, mereka akan sharing informasi.
“Sedangkan di Indonesia selama ini seolah bekerja sendiri-sendiri dan tidak mau sharing, sedangkan di Amerika mereka sharing. Terkadang kita ini kerja parsial, padahal kita butuh kecepatan. Kejahatan siber itu borderless, anonymous, massif, destruktif, dan 24 hours. Kita tidur kejahatan sudah jalan sendiri,” pungkasnya. (*) RAL