Hilirisasi SDA RI: Antara Narasi, Sentimen, dan Tantangan Implementasi

Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung

Istilah hilirisasi, yang secara fundamental mengacu pada proses pengolahan bahan mentah menjadi produk bernilai tambah tinggi, telah berevolusi dari konsep ekonomi menjadi doktrin pembangunan nasional yang sangat menonjol. Hilirisasi menjadi pilar utama agenda transformasi ekonomi Indonesia, seperti khususnya pelarangan ekspor bijih nikel, pembatasan penggunaan batubara sebagai bahan bakar langsung dan perluasan ke komoditas lain.

Narasi pemerintah secara konsisten menyoroti manfaat ekonomi yang substansial, seperti peningkatan nilai ekspor, surplus neraca perdagangan, penciptaan lapangan kerja, dan penarikan investasi. Di samping itu, ada sentimen publik yang sangat terpolarisasi dengan kritik tajam mengenai dampak lingkungan, ketidakadilan sosial, dan potensi kebocoran nilai ekonomi akibat kepemilikan asing. Perbedaan pandangan ini menciptakan kesenjangan narasi yang signifikan antara klaim pemerintah dan pengalaman masyarakat sipil.

Kebijakan hilirisasi di Indonesia menunjukkan evolusi yang signifikan dari sekadar konsep ekonomi menjadi doktrin pembangunan nasional yang sentral. Istilah “hilirisasi” telah secara konsisten digaungkan dalam pidato-pidato presiden dan menteri, serta dilembagakan dalam berbagai dokumen pemerintah, termasuk undang-undang dan rencana pembangunan jangka menengah.

Ini mencerminkan komitmen politik yang mendalam dan berkelanjutan untuk mentransformasi struktur ekonomi Indonesia dari eksportir bahan mentah menjadi negara industri maju.

Meskipun kebijakan ini telah dilembagakan dalam rencana pembangunan jangka panjang dan peraturan pemerintah, tantangan historis dari upaya hilirisasi sebelumnya menunjukkan bahwa keberhasilan tidak selalu terjamin dan seringkali disertai biaya ekologi dan sosial yang tinggi.

Sementara hilirisasi adalah strategi yang tidak dapat dihindari untuk kemajuan ekonomi, keberlanjutan jangka panjangnya sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk mengatasi berbagai kendala dan dampak negatif dan juga memastikan distribusi manfaat yang adil, dan membangun ekosistem industri yang benar-benar terintegrasi dan bertanggung jawab.

Definisi Hilirisasi

Hilirisasi, atau yang sering disebut “downstreaming” atau “value-adding”, didefinisikan sebagai proses pengolahan bahan mentah menjadi produk jadi yang memiliki nilai lebih tinggi. Konsep ini telah berkembang dari istilah ekonomi teknis menjadi kebijakan nasional yang sangat populer dalam 10 tahun terakhir ini seperti peningkatan hilirisasi Nikel yang sudah terjadi.

Fenomena ini menunjukkan adanya strategi komunikasi politik yang berhasil, mengubah konsep ekonomi menjadi mandat nasional yang diakui secara luas. Konsistensi dukungan politik tingkat tinggi secara signifikan meningkatkan status dan penerimaan publik terhadap kebijakan ini, yang pada gilirannya dapat menjadikan kelanjutannya sebagai masalah kebanggaan nasional dan arah strategis, sehingga lebih tahan terhadap kritik internal maupun eksternal.

Tujuan Hilirisasi

Peningkatan nilai produk merupakan tujuan sentral adalah untuk meningkatkan nilai ekonomis komoditas mentah, yang mengarah pada harga jual yang lebih tinggi dan keuntungan yang lebih besar. Hal ini secara langsung berkontribusi pada peningkatan pendapatan ekonomi negara.

Tujuan kedua adalah optimalisasi sumber daya alam. Kebijakan ini berupaya memastikan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia yang melimpah secara efisien dan efektif dalam perekonomian domestik.

Penciptaan produk baru untuk pasar Internasional juga dapat menjadi tujuan hilirisasi. Dengan mengolah bahan mentah menjadi barang jadi berkualitas tinggi dan berstandar internasional, Indonesia bertujuan untuk memenuhi permintaan pasar global dan memperluas portofolio ekspornya melampaui komoditas dasar.

Bila ketiga tujuan di atas bila terealisasi, maka pembukaan lapangan kerja dapat terjadi. Proses produksi yang lebih kompleks dan terintegrasi dalam hilirisasi diharapkan dapat menciptakan peluang kerja baru di berbagai sektor ekonomi, mulai dari manufaktur hingga logistik.

Aktifitas hilirasi yang terwujud sudah secara pasti memberikan peningkatan pendapatan Nasional dan kesejahteraan. Efek kumulatif dari nilai tambah yang meningkat, pendapatan ekspor yang lebih tinggi, dan penciptaan lapangan kerja diproyeksikan akan menghasilkan peningkatan signifikan dalam pendapatan nasional, yang pada gilirannya bertujuan untuk mengurangi kesenjangan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Hilirisasi akan menghasilkan produk jadi sehingga aktifitas menjual produk mentah bukan lagi menjadi andalan yang selama ini dilakukan. Dengan beralih dari ekspor bahan mentah ke barang jadi, Indonesia berupaya memperkuat posisinya dalam rantai nilai global dan meningkatkan daya saingnya dalam perdagangan internasional. Ini sekaligus mentransformasi struktur ekonomi Indonesia dari ketergantungan historisnya pada ekspor bahan mentah yang belum diolah saja.

Cahaya Hilirisasi untuk Indonesia

Indonesia, yang diberkahi dengan sumber daya alam yang melimpah, secara historis mengandalkan ekspor bahan mentah sebagai tulang punggung ekonominya. Namun, ketergantungan ini seringkali dikaitkan dengan kerentanan terhadap fluktuasi harga komoditas dan terbatasnya penyerapan nilai tambah di dalam negeri.

Kebijakan hilirisasi dipandang sebagai strategi fundamental untuk mentransformasi Indonesia dari negara berkembang yang bergantung pada komoditas menjadi negara industri maju. Transformasi ini dianggap esensial untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan tangguh.

Istilah “hilirisasi” mendapatkan popularitas signifikan. Konsep hilirisasi ini menjadi pilar sentral agenda pembangunan nasional, menandakan komitmen politik yang kuat untuk mengembangkan sektor industri yang memanfaatkan kekayaan sumber daya alam Indonesia dan memaksimalkan nilai tambah dari mineral mentah.

Meskipun tujuan utamanya adalah untuk “menambah nilai” , data menunjukkan bahwa “nilai” dapat diinterpretasikan secara berbeda oleh berbagai pemangku kepentingan. Bagi pemerintah, hal ini terutama berarti peningkatan pendapatan ekspor dan penerimaan negara.

Namun, bagi masyarakat umum atau masyarakat sipil, “nilai” seringkali mencakup penciptaan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan, dan keberlanjutan lingkungan. Perbedaan dalam persepsi manfaat ini berpotensi menciptakan “kesenjangan narasi”.

Apabila semua manfaat yang dijanjikan (terutama yang bersifat sosial dan lingkungan) tidak terwujud secara adil atau efektif, hal ini dapat menyebabkan ketidakpuasan publik, konflik sosial, dan tantangan terhadap legitimasi kebijakan jangka panjang, meskipun angka pertumbuhan ekonomi menunjukkan hasil positif. Hal ini juga menyoroti kompleksitas dalam mengukur “nilai tambah” di luar metrik keuangan semata.

Hilirisasi dipandang bukan sekadar proses industri, melainkan sebagai “motor pendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan” dan “langkah awal perubahan Indonesia dari negara berkembang menjadi negara industri maju”. Hal ini menunjukkan bahwa hilirisasi dipandang sebagai elemen fundamental untuk restrukturisasi ekonomi yang lebih besar dan sistemik.

Hilirisasi yang berhasil akan memicu siklus positif pembangunan industri, kemajuan teknologi, dan peningkatan sumber daya manusia. Implikasinya adalah bahwa visi jangka panjang ini memerlukan investasi yang signifikan dan berkelanjutan dalam kapasitas industri, infrastruktur, dan tenaga kerja terampil, menjadikan ini upaya yang sangat ambisius dan kompleks dengan ketergantungan serta risiko yang melekat jika tidak dikelola secara komprehensif.

Hilirisasi Apa yang Sudah Terjadi?

Hilirisasi nikel menjadi landasan kebijakan ekonomi nasional. Langkah penting adalah implementasi larangan ekspor bijih nikel mentah yang dimulai pada Januari 2020. Kebijakan ini secara eksplisit dirancang untuk meningkatkan nilai sumber daya nikel Indonesia sebelum diekspor. Hilirisasi Nikel diwujudkan dengan menurunkan bentuk produk Nikel dari Nikel Matte (70 % metal Ni) dan Nikel FeNi (22 % metal Ni) ke Nickel Pig Iron (NPI) dengan 12 % metal Ni.

Hilirasi nikel ini bertumbuh di Morawali sebagai kawasan baru industri. Hilirisasi ini mayoritas dibiayai dan dijalankan langsung oleh perusahaan-perusahaan dari China. Hasilnya, nilai ekspor nikel melonjak. Pertanyaannya adalah berapa porsi manfaat yang diperoleh Indonesia secara langsung ke pendapatan Indonesia?

Hilirasi Nikel contohnya menunjukkan keberhasilannya ternyata juga membawa masalah ekologi. Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk mengubah kutukan ini menjadi berkah dengan menambahkan nilai di dalam negeri, kritik terhadap hilirisasi nikel (misalnya, kepemilikan asing yang signifikan yang menyebabkan kebocoran nilai, kerusakan lingkungan yang parah, terbatasnya lapangan kerja formal lokal ) menunjukkan bahwa “kutukan” tersebut mungkin hanya bermanifestasi dalam bentuk baru.

Jika manfaat ekonomi dari hilirisasi tidak didistribusikan secara adil, atau jika biaya lingkungan dan sosial dieksternalisasi, negara berisiko melanggengkan bentuk ketergantungan sumber daya, meskipun dalam bentuk olahan, daripada mencapai diversifikasi ekonomi sejati dan pembangunan berkelanjutan.
Hilirisasi yang lain masih belum terwujud secara bisnis seperti yang sudah terjadi pada hilirisasi sumber daya Nikel. Hilirisasi yang lain masih dalam tahap rencana dan program.

Hilirisasi akan Berlanjut, Terwujudkah?

Pemerintahan sekarang Presiden Prabowo Subianto berjanji untuk melanjutkan dan lebih mempercepat program hilirisasi nasional. Hal ini menandakan komitmen yang kuat terhadap arah strategis yang ada. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.

Presiden Prabowo secara eksplisit menetapkan “melanjutkan hilirisasi dan mengembangkan industri berbasis sumber daya alam untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri” sebagai salah satu dari delapan prioritas nasional utamanya. Ini melembagakan hilirisasi sebagai pilar sentral strategi ekonomi jangka menengah dan panjang negara.

Sampai saat ini, hilirisasi era sekarang mungkin masih dalam tahap penggodokan. Identifikasi proyek hilirisasi mungkin sudah ada dokumen tertulisnya. Sebagai contoh adalah hilirisasi Batubara untuk menjadi produk kimia bernilai lebih tinggi dari pada Batubara sebagai bahan bakar saja. Hilirisasi batubara mungkin sudah diinginkan dan mungkin juga sudah tahap labih maju seperti sudah tahap pembuatan kelayakan ekonomi yang lebih lengkap.

Halangan besar hilirisasi Batubara menjadi produk kimia bernilai ekonomi tinggi terpampang dengan jelas. Halangan besarnya yang sering dikeluhkan adalah keekonomiannya itu sendiri dari sisi kondisi Indonesia sendiri dan kondisi ekonomi sekerang.

Ini berbeda dengan China yang sudah puluhan tahun mengindustrikan Batubara ke berbagai produk kimia lainnya. Kegamangan investisasi hilirisasi batubara lebih besar dibandingkan dengan hilirisasi Nikel ke produk NPI. Satu kejadian dalam hal ini adalah tidak berlanjutnya ke tahap implementasi hilirisasi Batubara ke produk kimia DME sebagai energi karena keraguan besar di kalangan investor untuk menanamkan modal pada hilirisasi Batubara ke bahan kimia DME sebagai energi.

Penekanan kuat pada “kontinuitas” hilirisasi memerlukan stabilitas politik dan prediktabilitas untuk investasi jangka panjang. Komitmen implementasi hilirisasi juga menjadi persyaratan mutlak. Kalau komitmennya masih pada pusaran keinginan dan kajian kajian saja, maka hilirisasi akan menjadi hiasan laporan kepemerintahan saja.

Hilirisasi juga digalakkan secara aktif untuk produksi produk turunan dari berbagai bahan baku lain, tidak hanya terbatas pada nikel dan batubara. Implementasi ini berfokus pada pengembangan teknologi produksi dan model bisnis yang konkret, bukan sekadar riset dan pengembangan saja.

Tujuannya adalah menciptakan ekosistem industri yang terintegrasi, di mana bahan mentah seperti kelapa sawit diolah menjadi oleokimia dan biodiesel, nikel menjadi baterai kendaraan listrik, bauksit menjadi aluminium, dan tembaga menjadi komponen elektronik. Pendekatan ini memastikan bahwa proses hilirisasi berjalan hingga tahap komersialisasi dan industrialisasi.

Berbagai Sentimen Hilirisasi Sumber Daya Alam

Hilirisasi mineral dan batubara menemukan dapat menimbulkan sentimen negatif juga. Narasi negatif ini terkait dengan dampak ekologinya. Ada beberapa sentimeni negatif yang berkembang di publik. Sentimen pertama dituliskan bahwa Penambangan nikel telah menyebabkan pembukaan area hutan yang luas yang , mengancam hutan dengan stok karbon tinggi (HCS) dan Area Keanekaragaman Hayati Utama (AKBA). Sentimen berikutnya adalah kegiatan hilirisasi di pesisir akan menyebabkan kerusakan signifikan pada ekosistem laut kritis seperti hutan bakau dan terumbu karang.

Sentimen negatif lain nya menyoroti peningkatan kontaminasi air, polusi logam berat di sungai, dan penipisan air tanah yang parah di daerah kegiatan hilirisasi. Praktik kontroversial Deep Sea Tailings Placement (DSTP) untuk air limbah beracun yang dihasilkan oleh proses High-Pressure Acid Leach (HPAL) menimbulkan ancaman signifikan terhadap keanekaragaman hayati laut. Organisasi lingkungan secara vokal mengkritik hilirisasi nikel karena mengabaikan integritas ekologi dan hak-hak masyarakat pesisir, mengutip kasus-kasus spesifik perusakan lingkungan.

Para kritikus bisa berpendapat bahwa manfaat hilirisasi secara tidak proporsional terkonsentrasi di antara pejabat pemerintah dan korporasi besar, yang mengarah pada persepsi “kolonialisme modern” yang meminggirkan masyarakat adat dan mengabaikan hak-hak mereka. Meskipun lapangan kerja tercipta, ada kekhawatiran tentang terbatasnya penciptaan lapangan kerja formal dan berkualitas tinggi. Meskipun pertumbuhan pertambangan, pengangguran tetap tinggi di beberapa daerah karena masuknya pekerja yang membanjiri pasar tenaga kerja, dan peningkatan pekerjaan informal non-pertanian.

Kegiatan hilirisasi diwujudkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). PSN ini dapat menghasilkan sentimen negatif dimana PSN telah mempercepat akuisisi lahan, tetapi ini seringkali menyebabkan peningkatan konflik agraria, perampasan lahan, penggusuran paksa, dan kurangnya Persetujuan Bebas, Didahulukan, dan Diinformasikan (PBDD) dari masyarakat yang terdampak.

Transparansi dalam Implementasi Kebijakan

Salah satu kelemahan krusial dalam implementasi kebijakan hilirisasi, khususnya terkait hilirisasi industri, adalah kurangnya transparansi. Proses perizinan yang seharusnya berjalan terbuka dan akuntabel seringkali dikeluhkan tidak jelas.

Hal ini membuka celah bagi praktik-praktik yang tidak etis, seperti tuduhan korupsi, di mana keputusan perizinan mungkin dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar merit dan regulasi yang berlaku. Ketidakjelasan ini tidak hanya merugikan negara tetapi juga menciptakan iklim investasi yang tidak sehat, di mana investor potensial menjadi enggan karena ketidakpastian dan risiko yang tinggi.

Ketiadaan transparansi ini berimbas langsung pada kepercayaan publik dan investor. Ketika proses perizinan diselimuti misteri dan isu suap, legitimasi kebijakan secara keseluruhan dipertanyakan. Hal ini dapat menghambat aliran investasi, memperlambat kemajuan proyek-proyek strategis, dan pada akhirnya, menggagalkan tujuan besar hilirisasi untuk menciptakan nilai tambah dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Oleh karena itu, memastikan proses perizinan yang transparan dan akuntabel adalah langkah fundamental untuk membangun fondasi yang kuat bagi keberhasilan implementasi kebijakan hilirisasi di masa depan.

Tantangan dan Hambatan Hilirisasi oleh Dekarbonisasi

Kebijakan dekarbonisasi menghadirkan tantangan keekonomian yang signifikan bagi upaya hilirisasi industri di Indonesia, seperti pada sektor-sektor padat energi seperti nikel dan batubara. Peta jalan dekarbonisasi secara fundamental membatasi penggunaan batubara, baik sebagai bahan bakar pembangkit listrik yang vital bagi operasional industri hilirisasi, maupun sebagai bahan reduktor krusial dalam proses produksi mineral seperti nikel dan baja.

Transisi dari sumber energi dan reduktor berbasis batubara ke opsi yang lebih ramah lingkungan, seperti energi terbarukan atau hidrogen hijau, memerlukan investasi modal yang sangat besar untuk pembangunan infrastruktur baru dan adopsi teknologi mutakhir. Biaya awal yang tinggi ini dapat meningkatkan harga produksi secara substansial, berpotensi mengurangi daya saing produk hilirisasi Indonesia di pasar global jika tidak diimbangi dengan insentif atau mekanisme kompensasi yang efektif.

Perubahan keekonomian ini memaksa industri hilirisasi untuk mengevaluasi ulang kelayakan proyek dan model bisnis mereka. Ketergantungan historis pada batubara sebagai sumber energi murah kini menjadi hambatan serius. Industri dituntut untuk mencari alternatif energi bersih yang berkelanjutan dan terjangkau, sekaligus mengembangkan metode produksi yang lebih efisien dan rendah emisi.

Proses ini tidak hanya melibatkan aspek teknologi dan finansial, tetapi juga memerlukan dukungan kebijakan yang kuat dari pemerintah, termasuk insentif fiskal, fasilitas pendanaan, dan regulasi yang jelas untuk mendorong transisi ini. Tanpa strategi yang komprehensif untuk mengatasi biaya dekarbonisasi, upaya hilirisasi dapat terhambat, bahkan berisiko kehilangan momentum dalam mencapai tujuan nilai tambah dan kemandirian industri.

Tantangan Implementasi Lainnya

Selain tantangan dekarbonisasi, implementasi hilirisasi di Indonesia menghadapi berbagai kendala lain yang kompleks. Salah satunya adalah kebutuhan investasi yang sangat besar untuk pembangunan infrastruktur pengolahan dan fasilitas pendukung, yang menjadi tantangan signifikan bagi pemerintah dan investor.

Proses hilirisasi industri di Indonesia seringkali menghadapi tantangan besar karena ketiadaan teknologi tinggi yang teruji secara industri dan bisnis di dalam negeri. Banyak tahapan hilirisasi, terutama untuk produk bernilai tambah tinggi, membutuhkan teknologi canggih yang belum dikuasai atau dikembangkan secara mandiri oleh Indonesia. Untuk mengatasi kesenjangan ini, strategi yang efektif adalah menjalin kerja sama teknologi dengan pemilik teknologi dari luar negeri.

Melalui kemitraan ini, Indonesia dapat mengakuisisi lisensi teknologi, menarik investasi asing langsung yang membawa serta keahlian teknis dan manajerial, serta melakukan alih teknologi dan pengetahuan kepada tenaga kerja lokal. Strategi ini memungkinkan percepatan pengembangan industri hilir, mengurangi risiko kegagalan proyek, dan memastikan bahwa produk yang dihasilkan memenuhi standar kualitas dan efisiensi global, tanpa harus memulai pengembangan teknologi dari nol yang memakan waktu dan biaya sangat besar.

Proses hilirisasi di Indonesia sangat bergantung pada ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang terampil, namun kenyataannya Indonesia masih menghadapi kekurangan signifikan SDM lokal yang memenuhi kualifikasi industri hilir berteknologi tinggi. Kondisi ini berdampak langsung pada terbatasnya penciptaan lapangan kerja formal berkualitas tinggi dan pada akhirnya, mempertahankan tingkat pengangguran yang tinggi di beberapa wilayah.

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan strategi komprehensif dalam penyiapan SDM terampil. Pemerintah dan industri harus menggenjot program pendidikan vokasi dan pelatihan kejuruan yang relevan dengan kebutuhan industri hilir, termasuk pelatihan teknis dan non-teknis seperti kemampuan beradaptasi dengan teknologi baru.

Kolaborasi erat antara institusi pendidikan, industri, dan pusat penelitian menjadi kunci untuk menyusun kurikulum yang sesuai, menyediakan fasilitas praktik modern, serta memfasilitasi program magang yang intensif.

Tantangan lain yang krusial adalah potensi kebocoran nilai ekonomi. Meskipun hilirisasi bertujuan meningkatkan nilai tambah, diperkirakan mayoritas dari nilai tambah yang tercipta seperti nikel tidak didistribusikan kepada rakyat Indonesia karena mayoritas kepemilikan asing pada banyak perusahaan pertambangan dan industri nikel.

Kebijakan hilirisasi juga sering dikritik karena dampak lingkungan dan sosial yang parah, termasuk deforestasi, perusakan ekosistem laut, polusi udara dan air, serta pembuangan limbah beracun. Hal ini memicu kesenjangan sosial dan ekonomi, dengan narasi “kolonialisme modern” yang menyoroti konflik agraria, penggusuran, masalah kesejahteraan pekerja, dan ketidaksesuaian dengan pengentasan kemiskinan.

Dari sisi kebijakan, implementasi hilirisasi masih diwarnai oleh kurangnya transparansi dalam proses perizinan dan melemahnya regulasi lingkungan akibat Undang-Undang Cipta Kerja. Indonesia juga menghadapi risiko retaliasi perdagangan, seperti gugatan dari Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait larangan ekspor nikel.

Selain itu, analisis menunjukkan bahwa nilai tambah yang dihasilkan masih suboptimal karena fokus pada proses nilai tambah yang lebih rendah. Kurangnya koordinasi antar kementerian dan tumpang tindih regulasi antara pemerintah pusat dan daerah juga menjadi hambatan serius.

Tantangan lain adalah ketergantungan berlebihan pada investasi asing yang dapat menimbulkan risiko ketidakstabilan ekonomi , fluktuasi harga komoditas global yang mempengaruhi profitabilitas , serta persaingan ketat dari negara lain yang memiliki infrastruktur industri lebih maju.

Menghadapi Tantangan dan Kendala Implementasi Hilirisasi

Pemerintah perlu meningkatkan investasi dalam infrastruktur dan teknologi, termasuk pembangunan smelter, fasilitas pengolahan, serta penelitian dan pengembangan untuk menciptakan teknologi yang kompetitif dan berkelanjutan. Sejalan dengan itu, penguatan sumber daya manusia melalui penyediaan pelatihan dan pendidikan vokasi menjadi prioritas untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja lokal agar sesuai dengan kebutuhan industri hilir.

Berhubung keterbatasan kepemilikan teknologi dan dana, pemerintah harus mempertimbangkan pemberian insentif fiskal dan perlindungan yang memadai bagi investor untuk menarik minat investasi domestik dan asing di sektor hilirisasi.

Meskipun penyederhanaan regulasi dan perizinan melalui kebijakan seperti Undang-Undang Cipta Kerja dapat menarik investasi , hal ini harus diimbangi dengan penguatan perlindungan lingkungan dan kesejahteraan pekerja. Kolaborasi dan sinergi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah, pelaku industri, dan akademisi sangat penting untuk menciptakan ekosistem industri yang ideal dan tata kelola yang baik.

Peningkatan transparansi dan partisipasi publik, khususnya dalam proses perizinan pertambangan dan pengelolaan lingkungan, akan membangun kepercayaan dan mengurangi konflik. Perlindungan lingkungan harus diperkuat dengan prosedur AMDAL yang lebih ketat, penyediaan data yang transparan, evaluasi ulang Proyek Strategis Nasional (PSN), promosi energi bersih, pelarangan pembuangan limbah beracun ke laut, dan penegakan standar lingkungan yang selaras dengan tolok ukur global.

Untuk memaksimalkan manfaat domestik, strategi hilirisasi harus diarahkan pada produk bernilai tambah lebih tinggi dalam rantai pasok (misalnya, ekosistem baterai kendaraan listrik), serta memastikan distribusi manfaat yang adil kepada masyarakat lokal melalui diversifikasi kepemilikan dan regulasi pendapatan sumber daya.

Diversifikasi ekonomi regional juga krusial untuk mempersiapkan daerah penghasil sumber daya menghadapi transisi di masa depan. Penegakan hukum yang kuat dan akuntabilitas, termasuk investigasi imparsial terhadap insiden di tempat kerja dan penanganan sengketa lahan yang transparan, sangat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan dan keadilan dalam program hilirisasi.

hilirisasinikelsumber daya alam
Comments (0)
Add Comment