Hidup di Indonesia, Banyak-banyaklah Berdoa

Oleh Karnoto Mohamad, Pemimpin Redaksi The Asian Post

Indonesia adalah negeri yang disayang Tuhan karena kekayaan sumber daya alam (SDA)-nya yang melimpah ruah.

Namun, para pemimpin dan pejabatnya yang mendapatkan amanah untuk mengelola kekayaan tersebut belum berhasil melepaskan Indonesia dari “kutukan sumber daya alam.” Atau, fenomena di mana negara yang kaya SDA justru mengalami kesulitan dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya.

Pemerintah Indonesia masih mengandalkan utang untuk membangun.

Jumlah utang pemerintah terus menggunung hingga Rp8.801 triliun per akhir 2024.

Rakyat Indonesia yang sebanyak 280 juta, 60 persen penduduknya pun masih hidup miskin menurut versi Bank Dunia.

Lembaga internasional ini mengkriteriakan garis kemiskinan di negara berpendapatan menengah ke atas seperti Indonesia adalah di bawah pengeluaran US$6,85 per hari.

Berbeda dengan Badan Pusat Statistik yang membuat kriteria garis kemiskinan dengan pengeluaran di bawah Rp582.932 per kapita per bulan dan pemerintah mengklaim angka kemiskinan hanya 9,03 persen per Maret 2024.

Rakyat Indonesia harus banyak-banyak berdoa di tengah hidupnya yang pas-pasan.

Berdoa sambil terus mengingatkan agar para pemimpinnya tulus bekerja untuk kepentingan rakyatnya.

Berdoa agar pemerintah mampu membayar utang jatuh tempo yang harus dibayar pada 2025 sebesar Rp800,3 triliun, plus bunga Rp552,9 triliun, tanpa harus terus “mencetak uang” yang beresiko menurunkan peringkat utang Indonesia dan bisa membuat US Dolar terus ngacir. Juga, berdoa agar bangsa Indonesia dijauhkan dari musibah bencana alam.

Sebab, di balik tanahnya yang subur, Indonesia tercatat sebagai negara paling rawan bencana alam di dunia setelah Filipina.

World Risk Index 2024 menempatkan Indonesia sebagai negara paling rawan bencana nomer dua di dunia dengan indeks bencana 43,5, atau setelah Filipina yang memiliki indeks bencana 46,86%.

Tingkat kerawanan bencana Indonesia naik setelah pada 2021 UNESCO menempatkan Indonesia berada pada posisi ke-7 sebagai negara paling rawan akan risiko bencana alam.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 2.107 kejadian bencana di Indonesia sepanjang 2024, dengan didominasi 1.088 bencana banjir dan 135 musibah tanah longsor.

Kerentanan hidrometeorologi yang meningkatkan curah hujan di musim penghujan dipicu oleh iklim tropis ditambah tingginya alih fungsi lahan dari kawasan hutan menjadi perkebunan, pertanian, dan pemukiman.

Menurut data The Asian Post yang diolah dari berbagai sumber, makin tingginya risiko bencana di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal.

Satu, letak geografisnya yang berada di “Cincin Api Pasifik” (Ring of Fire), pertemuan tiga lempeng tektonik, dan wilayah tropis.

Hal ini menyebabkan potensi tinggi terjadinya gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, banjir, dan tanah longsor.

Dua, pemanasan global yang memicu krisis iklim. Betul, ada faktor alam di luar kendali manusia, namun climate change utamanya di sebabkan oleh faktor manusia. Tiga, pembabatan hutan dan alih fungsi lahan.

Dalam laporan berjudul Forest Under Fire, Tracking Progress in 2023 Forest Goals, Indonesia menjadi negara terburuk kedua setelah Brazil di dunia dalam deforestrasi. Disebutkan, ada 1,18 juta hektar pada 2023.

Sementara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (sekarang telah dipecah menjadi dua kementerian), mengklaim bahwa deforestasi pada 2023 hanya 0,12 juta hektar.

Namun, akumulasi deforestrasi di Indonesia pada kurun waktu 1990 hingga 2023 sangat mencengangkan yaitu mencapai 14,21 juta hektar, yang terdiri dari 10,09 miliar hektar hutan dan 4,11 miliar hektar nonhutan.

Berkurangnya kawasan hutan meningkatkan kerentanan hidrometeorologi seperti tingginya curah hujan di musim penghujan yang menyebabkan risiko banjir dan tanah longsor, serta risiko kebakaran hutan di musim panas.

Berbagai musibah bencana seperti kebakaran di Los Angeles, Amerika Serikat pada awal 2025, mengingatkan bahwa penduduk bumi sedang menghadapi krisis iklim, sebagai tantangan terbesar abad ini.

Survei Persepsi Risiko Global pada 2025 ini menunjukkan bahwa rasa waspada juga meningkat dalam jangka pendek: Masalah lingkungan, mulai dari cuaca ekstrem hingga polusi, sudah ada sekarang dan kebutuhan untuk menerapkan solusi sangat mendesak.

Kekhawatiran tentang konflik bersenjata berbasis negara dan konfrontasi geoekonomi rata-rata tetap relatif tinggi dalam peringkat selama 20 tahun terakhir, dengan beberapa variabilitas.

Selain berdoa agar terhindar dari banyak bencana alam, harus ada langkah nyata untuk mengatasi krisis iklim dan setiap orang hendaknya memiliki kesadaran dan spirit untuk menjaga kehidupan di bumi tetap terjaga.

Yang paling sederhana, adanya kesadaran masyarakat dunia untuk melakukan tindakan-tindakan nyata seperti menghemat energi dan air, mengurangi penggunaan plastik dan kendaraan bermotor, menanam pohon, memilah sampah, dan memilih untuk memiliki sedikit anak.

Namun, sebagaimana sifat dari krisis, maka penyelesaian krisis iklim sebagai masalah berskala global sangat membutuhkan kepemimpinan, kebijakan, dan teknologi.

Apalagi, para pemimpin negara tak hanya menghadapi ancaman krisis iklim, tapi juga risiko konflik antar-negara seiring dengan ketegangan geopolitilik global yang makin meningkat.

Ketakutan dan ketidakpastian mengaburkan prospek kehidupan di berbagai belahan dunia, akibat konflik militer yang kian meluas. Timur Tengah telah kembali menjadi titik api, dengan serangan udara Israel di Gaza dan keterlibatan Amerika Serikat di Yaman.

Perseteruan lama antara India dan Pakistan di wilayah Khasmir kini juga tengah bersemi kembali dan berpotensi memicu perang.

Begitu juga perang antara Rusia versus Ukraina yang telah tiga tahun berkecamuk sampai kini belum ada tanda-tanda berakhir.

Bahkan, beberapa waktu lalu, Jenderal NATO Mark Rutte, telah memperingatkan bahwa Rusia dapat melancarkan serangan skala penuh ke Eropa pada tahun 2030.

Meningkatnya kerja sama militer antara Rusia, Tiongkok, Korea Utara, dan Iran, membuat para ahli khawatir dunia mungkin sedang bergerak menuju Perang Dunia III.

Jika memang benar Perang Dunia III terjadi, maka semua senjata-senjata nuklir canggih akan dikerahkan dan sangat mungkin untuk menghancurkan seluruh umat manusia.

Seperti diramalkan dalam kitab Bahrul Mazi, yang diuraikan Syeikh Idris al-Marbawi terhadap hadis Rasulullah SAW yang dipilih daripada kitab Sunan al-Tirmidzi.

Disebutkan, Perang Dunia III akan berlangsung dalam tempo yang singkat, tapi kemusnahannya amat dahsyat. Sehingga selepas itu dunia akan kembali seperti Zaman Pertengahan di mana bala tentara hanya akan menunggang kuda serta bersenjatakan pedang seperti perang zaman dahulu.

Uraian tersebut sama dengan yang dikatakan politisi dan negarawan Inggris Louis Lord Mountbatten (1900-1979),“Jika Perang Dunia Ketiga adalah berjuang dengan senjata nuklir, yang keempat akan diperjuangkan dengan busur dan anak panah.”

Fisikawan penemu Teori Relativitas asal Jerman Albert Einstein (1879-1955) juga telah mengingatkan bahwa Perang Dunia III akan menjadi perang terakhir bagi seluruh umat manusia. Setelah itu akan muncul siklus kehidupan berikutnya yang kembali ke masa primitif.

“Saya tidak tahu dengan apa senjata Perang Dunia Ketiga akan diperjuangkan, tetapi Perang Dunia Keempat akan diperjuangkan dengan kayu dan batu,” ujarnya.

Semoga para pemimpin negara di dunia bisa mencegah konflik militer terus meluas, apalagi sampai ada yang menggunakan senjata nukir. Naudzubillahmindzalik. (*)

bencana alamkarnoto mohamadKonflik Palestina - Israelkorupsikrisis ekonomiPerang dagang AS-Tiongkokperang Rusia-Ukraina
Comments (0)
Add Comment