Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank
MAJALAH Infobank kembali mengumumkan kinerja keuangan bank-bank umum secara individual termasuk bank perekonomian rakyat (BPR). Salah satu tantangan utama bank-bank adalah bagaimana memproduktifkan permodalan yang makin kuat di tengah tren perlambatan pertumbuhan kredit yang menjadi sumber utama pendapatan perbankan.
Di tengah perlambatan pertumbuhan kredit yang sebesar 7,77% per Juni 2025, pada saat yang sama rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) bank umum makin kokoh dari 23,32% menjadi 25,81%.
Jauh di atas CAR aman menurut Basel III minimal 10,5%. CAR yang tinggi menunjukkan kemampuan bank untuk menyerap risiko makin kuat sehingga memiliki kapasitas untuk menggenjot kredit lebih kencang.
Menurut Biro Riset Infobank dalam kajian Rating 105 Bank Umum Versi Infobank 2025, setidaknya ada tiga tantangan utama bagi para bankir dalam menyalurkan kredit yang makin penuh rintangan.
Satu, ketidakpastian yang terus berlanjut akibat kondisi geopolitik global, kebijakan tarif dagang, dan kondisi ekonomi dalam negeri Indonesia yang sangat menantang.
Banyak perusahaan manufaktur dunia maupun Indonesia berdarah-darah karena merosotnya permintaan pasar, dan sebagian mengalami kebangkrutan.
Tahun ini di Amerika Serikat dan Eropa, hampir 300 perusahaan mengajukan pailit diantaranya Del Monte, Watchtower Firearms, Hudson Bay, Northvolt, Lilium, Falcon Lifts, hingga Sneakersnstuff.
Di Indonesia, sederet perusahaan lain resmi menutup operasionalnya seperti Sritex, Sanken Indonesia, Yamaha Music, Danbi Internasional, Tokai Kagu Indonesia, Bapintri, Adis Dimension Footwear, hingga Victory Ching Luh.
Belum lagi sektor ritel yang telah banyak mengurangi pegawai seperti dilakukan KFC Indonesia, Matahari Departemen Store, hingga Starbucks.
Dua, likuiditas yang ketat karena perbankan harus bersaingan dengan Surat Berharga Negara (SBN) yang dikeluarkan pemerintah maupun Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI). Imbal hasil (yield) yang lebih menarik membuat investor lebih memilih untuk membeli SBN atau SRBI.
Imbasnya, dana yang seharusnya parkir di perbankan berkurang karena digunakan untuk belanja pemerintah atau investasi publik.
Apalagi, utang pemerintah terus menggunung hingga menembus Rp8.813 triliun per Desember 2024 dan harus dilunasi ketika jatuh tempo.
Belum lagi utang Bank Indonesia (BI) yang mencapai Rp922,4 triliun dan liabilities badan usaha milik negara (BUMN) yang sebesar Rp6.957 triliun.
Likuiditas yang ketat tentu membuat suku bunga kredit sulit turun. Apalagi bank sendiri sering diperas oleh pemilik dana besar yang meminta imbal hasil tinggi. Sementara, net interest margin (NIM) harus dipertahankan tetap tebal untuk mencover risiko maupun menjaga posisi atau kenaikan laba karena permintaan pemegang saham dan tentunya bonus/tantiem bagi pengurus.
Tiga, meningkatnya risiko kredit. Di tengah kemerosotan ekonomi, sebagaian orang atau perusahaan berusaha bertahan hidup di tengah masa sulit meskipun harus mengambil keuntungan dengan “memangsa” pihak lain.
Bahkan, jebakan maut kredit macet bisa sengaja diciptakan debitur nakal dengan tidak memenuhi kewajiban pembayaran, menggunakan kredit untuk membayar utang atau kegiataan lain, kemudian melindungi diri dengan pihak lain dan melakukan kriminalisasi hukum.
Kredit macet menjadi mimpi buruk para direksi bank, terutama bank pembangunan daerah (BPD). Kredit macet di bank swasta cuma berpotensi menimbulkan kerugian bank, dan jika nilainya besar, itu menurunkan trust pemegang saham kepada direksi. Tapi di bank pelat merah terutama BPD, kredit macet bisa menjadi cerita mengerikan.
Bukan hanya menimbulkan potensi kerugian bank, tapi juga kerugian negara.
Itu yang terjadi setelah PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) tumbang karena tak mampu menyelesaikan utangnya yang menggunung, dan menyeret sejumlah bankir BPD.
Kendati tidak ada mens rea atau niat jahat untuk berbuat korupsi dan memperkaya diri, tapi ketika mengambil keputusan bisnis dan risiko yang ada menjadi kenyataan, dia harus diseret dan dipenjara.
Akankah BPD memilih jalan aman dengan kembali menjadi “kasir Pemda” dan melupakan mimpinya untuk menjadi “regional champion” karena upaya membangun kompetensi di kredit komersial sangat berisiko terjerat kriminalinasi?
Akankah bank BUMN lebih agresif mengucurkan kreditnya karena lahirnya UU BUMN melindungi direksi dari tanggung jawab hukum atas kerugian yang tidak disebabkan karena kelalaian dan kongkalingkong? Bagaimana kinerja keuangan 105 bank umum dan 413 BPR menurut Rating Infobank 2025? Baca selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 568 Agustus 2025!