Hasil Sidang Eksaminasi, Harusnya Kabulkan Praperadilan Thomas Lembong

Jakarta – Kasus penetapan pelaku korupsi yang menimpa mantan Menteri Perdagangan RI, Thomas Trikasih Lembong, terus menjadi sorotan belakangan ini. Kasus penetapan tersangka dirinya oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) memasuki babak baru, dimana pihak Thomas Lembong mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) akhir November lalu.

Dalam proses praperadilan, hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan untuk menolak seluruh permohonan praperadilan yang diajukan mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong, sehingga status tersangka Thomas tetap sah. Hakim mengatakan Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tersangka berdasarkan lebih dari dua alat bukti.

Menanggapi putusan praperadilan ini, CLDS (Centre For Leadership and Law Development Studies) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) tertarik untuk melakukan kajian akademik melalui aktifitas eksaminasi.

Mengingat sesudah melalui diskusi terbatas menemukan beberapa ketidaktepatan pertimbangan hukum yang dilakukan oleh hakim praperadilan yang menolak seluruh permohonan pemohon, dimana ditemukan beberapa masalah hukum (legal issue) penting yang perlu dieksaminasi.

Beberapa masalah hukum itu, antara lain pengabaian hak Tersangka atas akses untuk didampingi penasihat hukum, penetapan Pemohon sebagai tersangka tidak didasarkan bukti permulaan yang cukup, penggunaan risalah hasil expose sebagai bukti untuk menunjukkan adanya perbuatan melawan hukum dan kerugian keuangan negara, pelanggaran terhadap asas legalitas, keterlambatan menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Pemohon, serta tak terpenuhinya alasan subyektif yang didasarkan pada pertimbangan objektif.  

“Seharusnya Hakim Praperadilan menyatakan  penyidikan yang dilakukan oleh Termohon tidak sah karena terbukti bahwa Termohon terlambat menyampaikan SPDP kepada Pemohon, yaitu telah melebihi 7 (tujuh) hari sejak terbitnya Sprindik,” tulis salah satu poin hasil sidang eksaminasi, yang diterima Asianpost, Senin (16/12).

Menurut eksaminator, pertimbangan Hakim Praperadilan dalam perkara a quo yang justru menilai penyidikannya tetap sah meskipun terbukti penyerahan SPDP kepada Pemohon terlambat, tidaklah sesuai dengan Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan.

“Dimana dalam Putusan MK Nomor 130/PUU-XII/2015 juga telah menyebutkan secara jelas jika penyidik wajib memberikan SPDP kepada terlapor paling lambat 7 hari sejak dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan (SPRINDIK),” tegas laporan tersebut.

Laporan hasil sidang eksaminasi itu turut mencantumkan tindakan yang sepatutnya dilakukan oleh hakim praperadilan, yakni mengabulkan permohonan praperadilan dan menyatakan penyidikan perkara aquo oleh Termohon adalah tidak sah dan melawan hukum.

Kedua, menyatakan secara hukum bahwa penyidikan yang dilakukan oleh Termohon dalam perkara aquo adalah tidak sah dan melawan hukum.

Dan terakhir, menyatakan secara hukum bahwa penahanan yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah, karena tidak terpenuhinya alasan subyektif yang didasarkan pada pertimbangan obyektif yaitu adanya keharusan disertai dengan bukti dari adanya kekhawatiran penyidik.

Sidang eksaminasi FH UII yang dilakukan Sabtu, 14 Desember 2024 di hotel Eastparc, Yogyakarta terhadap putusan Hakim Praperadilan Nomor 113/Pid.Pra/2024/PN.Jkt.Sel diikuti oleh para ahli hukum pidana seperti Prof. Dr. Rusli Muhammad, SH., MH., Prof. Hanafi Amrani, SH., MH., LLM., PhD., Dr. Muhammad Arif Setiawan, SH., MH., dan Wahyu Priyanka Nata Permana, SH., MH.

Dalam sidang eksaminasi tersebut juga dihadiri oleh dosen pengajar hukum pidana, praktisi bantuan hukum baik dari LKBH FH UII, UAD, UMY dan UJB, para advokat dari DPC PERADI Yogya, IKADIN Yogya, serta mahasiswa pascasarjana program Magister Hukum (S2) yang mengambil konsentrasi bidang hukum pidana.

Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong dan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) berinisial CS telah ditetapkan sebagai Tersangka korupsi kasus dugaan korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) tahun 2015.

Dalam kasus itu, Thomas diduga membuat atau melaksanakan kebijakan yang melawan hukum saat menjadi menteri perdagangan pada era Presiden Jokowi yaitu mengeluarkan kebijakan impor gula pada 2015 yang diambil tanpa rapat koordinasi dengan instansi terkait.

Selain itu, juga tidak ada rekomendasi dari kementerian-kementerian untuk mengetahui kebutuhan riil sebelum impor. Padahal, hasil rapat koordinasi kementerian pada tanggal 15 Mei 2014 menyatakan Indonesia mengalami surplus gula sehingga tidak perlu melakukan impor. SW

impor gulakorupsi impor gulaPraperadilanThomas Lembong
Comments (0)
Add Comment