Ada yang tahu kalau tanggal 23 April merupakan Hari Buku Sedunia? Mungkin tidak banyak. Bahkan, para maniak baca atau penulis sering luput atas peristiwa penting yang sesungguhnya sengaja dibuat UNESCO untuk meningkatkan literasi, penerbitan dan hak cipta.
Dalam sebuah diskusi perbukuan yang diselenggarakan Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Selasa (23/4), mengemuka bahwa membaca masih menjadi persoalan di Indonesia. Hal ini terutama terbentuk sejak anak-anak. Orangtua umumnya cukup puas jika anak sudah dapat membaca. Paling tidak, orangtua merasa tenang karena anaknya kelak mudah saat memasuki jenjang SD. Padahal, membaca dan berhitung sudah tidak lagi menjadi syarat anak duduk di bangku sekolah dasar.
Literasi bukan sekadar mampu membaca dan menulis. Kalau itu ukurannya, maka apa bedanya dengan pemberantasan buta huruf yang sudah sukses dijalankan pemerintah, meski hingga 2018 masih ada 3,4 juta jiwa atau sekitar 2,07 persen penduduk Indonesia yang buta aksara.
Badan Pusat Statistik (BPS) mendata, penduduk yang tak mengenal huruf itu sebagian besar tersebar di 11 provinsi dengan rentang usia 15-59 tahun. Jawa Barat menjadi satu-satunya provinsi di Pulau Jawa yang angka buta aksara penduduknya di bawah rata-rata angka nasional 1 persen. Oke itu data statistiknya mengatakan begitu.
Tapi bagaimana dengan peningkatan kemampuan literasi, seperti yang diinginkan oleh UNESCO melalui peringatan Hari Buku Sedunia itu?
Yang harus dicapai dari literasi adalah kemampuan mengolah informasi dan pengetahuan. Sikap kritis berada di ujungnya. Tapi itu tahapan lanjutan, ada enam lainnya yang harus dilalui dari tingkatan membaca. Jadi masih cukup jauh.
Mengapa kritis itu perlu? jawaban singkatnya supaya tidak terus dibodohi. Karena kalau sampai dibodohi sirna sudah tujuan dari capaian literasi itu: memperoleh kecakapan hidup, baik dalam hal berprilaku dan emosional.
Data ini sering diulang, tapi rasanya perlu saya ulang lagi. Tingkat membaca di Indonesia itu rendah sekali, urutan 60, hanya setingkat di atas Botswana, sebuah negara di Afrika yang berada di posisi paling buncit (61). Studi ini bertajuk “Most Littered Nation in the World”’ yang dilakukan Central Connecticut State University pada 2016. Miris memang, tapi itulah adanya.
Apa yang berbahaya dari data itu? Dalam era kecepatan digital seperti ini, informasi bagai tsunami yang tidak bisa dibendung, menyerbu tanpa ampun. Kecepatan informasi melebihi dari kemampuan kita membaca dengan benar, alih-alih bersikap kritis. Maka, tidak terlalu mengherankan juga kalau hoaks mudah tumbuh di sebuah negara yang tingkat literasinya rendah.
Jadi, semestinya Hari Buku Sedunia bisa dijadikan momen penting untuk peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia.
Berlebihan? iya juga sih. Ah, tapi tidak juga. Buktinya, buku-buku masih terus terbit. Lapak-lapak berbagi cerita digital makin diminati. Data dari Gramedia 2018 menyebutkan jenis buku yang paling diminati adalah novel dengan pangsa pasar 18,63 persen. Disusul buku anak 12,72 persen, dan buku sekolah 12,69 persen. Kemudian buku agama 12, 45 persen; serta komik 9,18 persen. Paling buncit adalah buku makanan dan minuman, sekitar 2 persen.
Namun kritik dari salah satu pembicara dalam seminar itu adalah dangkalnya plot cerita novel masa kini, seperti sinetron teve yang penuh pengembangan hingga puluhan episode, tapi begitu cetek. Kenapa ini bisa terjadi? salah satunya, inilah gambaran dari masih minimnya level membaca dari penulis.
Maka, di setiap tanggal 23 April, bolehlah kita berkeinginan menjadi seperti William Shakespeare, Inca Garcilaso de la Vega, Miguel de Cervantes, Manuel Mejía Vallejo, atau Halldor Laxness. Sebab, dari karya-karya merekalah UNESCO menetapkan sebagai Hari Buku Sedunia, meski yang dikenang sejatinya adalah kelahiran dan kematian dari tokoh-tokoh yang secara ‘kebetulan’ tepat di tanggal yang sama. []
Ahmadi Supriyanto (Jurnalis)