Hanya 10% Kasus Hate Crime di Moda Transportasi London yang Diproses Hukum

(Foto: Net)

Moda transportasi umum sudah menjadi kebutuhan kita semua. Apalagi, bagi sebagian pekerja di perkotaan, moda transportasi umum adalah bagian yang tak terpisahkan dalam menjalani rutinitasnya sehari-hari. ‘Ngantor’ dan pulang kantor, ditempuh dengan menggunakan moda transportasi umum. Maka dari itu, fasilitas transportasi umum perlu dibuat senyaman dan seaman mungkin, sehingga masyarakat semakin nyaman menggunakannya.

Layanan keamanan yang lebih diperlengkap lagi misalnya, bukan hanya dari segi kuantitas, tapi juga kualitas, sangat memberikan rasa secure kepada masyarakat ketika menaiki transportasi umum. Ketika Jakarta baru saja memulai program penambahan CCTV dan petugas keamanan pada moda transportasi bis Transjakarta untuk meminimalisir pelecehan seksual, Ibu Kota Inggris, London, yang memiliki puluhan ribu CCTV pada fasilitas transportasi umum, malah terkesan tidak sanggup menghadapi para pelaku hate crime.

Ini dapat dilihat dari data Polisi Transportasi British (PTB) yang dikumpulkan oleh VICE World News, dimana ada 4.795 kasus hate crime yang terjadi di moda transportasi kereta overground London telah dilaporkan ke PTB dalam kurun waktu empat tahun terakhir, dan rata-rata hanya 10% saja yang pelakunya ditahan dan dilanjut proses hukumnya. Bahkan, data di 2021 menunjukkan, hanya 7% saja yang pelakunya ditangkap dan diproses.

Sementara itu, data Home Office menunjukkan, selama 12 bulan yang berakhir pada Maret 2021, hanya 11,6% kasus hate crime se-Inggris Raya yang pelakunya ditahan dan diproses hukum. Lagi-lagi berbanding sangat rendah, bila melihat jumlah CCTV yang terpasang di setiap sisi kota London, yang seharusnya memudahkan aparat penegak hukum dalam menangkap dan memproses para pelaku hate crime. Meninggalkan ribuan korban hate crime tanpa keadilan. 

Bahkan, mereka yang ditahan pun, tak ada jaminan akan mendapatkan tuntutan hukum dari ruang pengadilan. Hate crime sendiri adalah segala jenis kejahatan yang pelakunya menargetkan korbannya berdasarkan ras, etnisitas, agama, orientasi seksual, atau preferensi politik tertentu.    

Ternyata usut punya usut, lemahnya penindakan terhadap pelaku hate crime terjadi akibat buruknya kualitas CCTV. Jumlah CCTV yang sebanyak itu ternyata tidak diimbangi dengan maintanance yang baik. Pada fasilitas jaringan transportasi bawah tanah London saja, terdapat lebih dari 90.000 CCTV yang tersebar di setiap sudut ruang. Salah satu korban kasus hate crime menceritakan pengalamannya ketika melaporkan kejahatan yang ia alami ke polisi. 

Dirinya dihina secara verbal karena gay, wajahnya ditendang oleh pelaku yang hingga kini belum tertangkap. “Saya merasa gemetar setelahnya, dan sangat ketakutan,” ucap Bertie Darrell, 28, seperti dikutip dari VICE World News. “Itu mengingatkan anda betapa mengerikan dan kerasnya perlakuan, sekaligus vulnerable-nya anda hanya karena identitas seksual.” 

Setelah melaporkannya ke Polisi Transportasi British, Bertie menerima jawaban bahwa investigasi dapat dimulai setelah rekaman CCTV dari kereta di London Tenggara diterima oleh polisi, yang dapat memakan waktu hingga tiga minggu. Empat minggu setelahnya, Bertie mendapatkan informasi bahwa rekaman CCTV sudah diterima pihak kepolisian, namun kualitas rekamannya sangat buruk, sehingga gambar pelaku tak terlihat secara jelas. 

Ia juga sudah meminta rekaman backup, namun Polisi Transportasi British mengatakan bahwa rekaman backup sudah terhapus setelah tujuh hari. Polisi pun mencari rekaman CCTV dari luar stasiun, namun karena pelaku menggunakan penutup wajah, maka CCTV tersebut juga jadi tak berguna. Karena kurangnya bukti, polisi akhirnya menyudahi penyelidikannya, dengan pelaku yang tidak tertangkap. 

“Kejadian itu benar-benar memisahkan saya dari pribadi saya yang dulu. Sebelum kejadian itu terjadi, saya adalah pribadi yang bebas, sangat berani. Kemudian, peristiwa itu membuat anda sangat takut,” jelas Bertie lagi. 

Korban lainnya yang juga mengalami kejadian serupa adalah seorang imigran dari Timur Tengah di kereta bawah tanah London pada Desember 2021. Haya M Turkey, 30, tengah pulang kerja ketika kejadian itu menimpanya. 

“Wanita itu memukul saya, dan mengatakan, ‘Kembali sana ke negara kamu! Kenapa kamu datang ke sini?'” ungkap Haya, seperti dikutip dari VICE World News. 

Haya segera melaporkannya ke Polisi Transportasi British, dan mendapatkan jawaban pada hari kelima belas setelah kejadian melalui email bahwa rekaman CCTV stasiun tidak tersedia lagi setelah 14 hari. Selama sebulan setelah kejadian, Haya sangat takut naik transportasi umum, dan lebih memilih naik taxi daring yang mahal. 

Di satu sisi, juru bicara Polisi Transportasi British, mengatakan, pihaknya sudah melakukan yang terbaik dalam meminimalisir kejadian serupa. “Kita menjalankan patroli dan sejumlah operasi di sepanjang jalur kereta, membuat segenap penumpang dan staf perusahaan kereta merasa aman dan nyaman. Petugas kita dapat segera merespon laporan hate crime, dan dengan akses ke 150.000 lebih kamera CCTV pada seluruh jaringan rel kereta, pelaku dapat segera teridentifikasi dan ditangkap,” kata juru bicara PTB kepada VICE World News.

Juru bicara PTB malah menyarankan kepada segenap korban kasus hate crime yang terjadi di kereta bawah tanah London, untuk melaporkan kasusnya, dan rekaman CCTV dapat segera disita untuk menjadi salah satu bukti vital yang bisa dipresentasikan ke Layanan Kejaksaan Kerajaan untuk putusan hukuman. 

Para pakar CCTV lokal kemudian mengungkapkan, jaringan kereta bawah tanah London tidak semuanya menggunakan teknologi terkini pada CCTV-nya. Hal ini menyebabkan mudahnya rekaman CCTV untuk hilang atau memiliki kualitas gambar yang sangat rendah. Pihak kepolisian memang tidak bertanggung jawab dalam maintanance CCTV. Tugas maintanance CCTV merupakan tanggung jawab korporasi pemilik kereta dan jaringan stasiun. 

Penulis: Steven Widjaja   

Sumber: VICE World News / Ruby Lott-Lavigna  

Hate CrimeInternationalKereta Api Bawah TanahLondonModa Transportasi
Comments (0)
Add Comment