Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) mempertegas larangan wakil menteri (wamen) merangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi di perusahaan negara maupun swasta.
Sikap MK ditunjukkan dengan mengeluarkan putusan dalam perkara nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo di Jakarta, Kamis (28/8).
“Amar putusan: mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” ujar Suhartoyo saat membacakan putusan.
Dengan putusan ini, MK memberi pesa bahwa jabatan publik bukan paket bundling yang bisa dipakai sekaligus untuk kementerian dan BUMN.
Keputusan ini lahir setelah MK menyidangkan perkara yang diajukan oleh Viktor Santoso Tandiasa dan Didi Supandi.
Keduanya meminta agar larangan rangkap jabatan tidak hanya berlaku untuk menteri, tetapi juga wakil menteri. Mereka menilai pemerintah mengabaikan putusan-putusan MK sebelumnya, karena tetap ada wamen yang merangkap jabatan sebagai komisaris di perusahaan BUMN.
Singkatnya, publik melihat seolah-olah ada “jurus skip aturan” yang membuat wamen bisa punya kursi ganda tanpa batasan jelas.
Dalam amar putusannya, MK menegaskan Pasal 23 UU Kementerian Negara kini harus dimaknai lebih tegas, yakni menteri dan wakil menteri dilarang rangkap jabatan sebagai pejabat negara lain, komisaris atau direksi perusahaan, maupun pimpinan organisasi yang dibiayai APBN atau APBD.
Larangan ini bukan basa-basi, karena publik sudah bosan melihat pejabat yang kelihatan sibuk, padahal lebih sering mondar-mandir dari rapat kabinet ke rapat komisaris dan direksi.
Fenomena rangkap jabatan ini sebelumnya memang menimbulkan tanda tanya besar. Tercatat, saat ini ada sekitar 30 wamen aktif yang duduk di kursi komisaris BUMN.
Sebelumnya, Ketua MPR Ahmad Muzani pernah menanggapi putusan MK yang mempertegas larangan untuk menteri maupun wakil menteri untuk rangkap jabatan.
Menurutnya, tidak ada kewajiban untuk mengikuti larangan tersebut. Sebab, larangan rangkap jabatan hanya terdapat dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019, bukan putusannya.
“Tidak ada kewajiban untuk dilaksanakan karena itu pertimbangan untuk sebuah keputusan, tapi keputusannya tidak begitu. Itu kan bukan keputusan, tapi itu pertimbangan,” ujar Muzani di Jakarta Pusat, Rabu (23/7) silam. DW