“Rekor ini bukan hanya rekor di Indonesia, tapi juga rekor dunia,” ujar Osman Semesta Susilo sebagai perwakilan dari MURI saat memberikan sertifikat itu kepada Makka.
Di karya barunya ini, ada cerita tersendiri mengapa Makka memilih kata “Mr. Crack” dalam judulnya. Makka diminta oleh penerbit untuk mencari apa identitas khas dari Habibie. Ilmuwan, kata mereka, terlalu umum. Makka harus mencari sesuatu yang lain daripada yang lain.
Kebetulan, Makka menjelaskan, rekan-rekan Habibie di Jerman punya panggilan khusus untuknya. Di sana, Habibie dipanggil “Mr. Crack”. Asal-usul nama panggilan tersebut berasal dari kebisaan Habibie memecahkan sesuatu hal yang tak bisa dipecahkan oleh yang lainnya dalam teknologi penerbangan.
“Yaitu, bagaimana perlambatan retak apabila kapal bergoyang. Nah, itu dia selesaikan, tak ada yang selesaikan itu. Itulah yang dipakai Boeing, dipakai Airbus. Terutama Airbus ya karena dia bekerja di Jerman,” kata Makka.
Secara garis besar, buku ini berupa biografi seorang Habibie. Dimulai dengan asal-usul keluarganya hingga sepak terjangnya saat menempuh pendidikan, menjadi menteri, menjadi presiden, hingga masa setelahnya.
“Beliau selesai periode tahun 2000, 1999 kan berhenti (jadi presiden), dia melanjutkan pada 2000 itu mendirikan Habibie Center. Di situ, periode yang saya sebut di sini sudah mulai jadi begawan,” ujarnya menerangkan.
Pada periode ini, kata Makka, Habibie sudah mulai menarik diri dari seluruh kegiatan-kegiatan politiknya. Akan tetapi, masyarakat seakan tak menganggapnya istirahat. Di rumahnya, Habibie selalu dikunjungi tamu sejak 2000 itu.
“Itu yang saya sebut di sini sudah periode begawan. Sudah melalui proses dari ilmuwan, jadi negarawan, kemudian menjadi presiden, kemudan terakhir dia kembali yang saya sebut minandito itu, kembali kepada masyarakat,” tutur Makka.
Tak hanya sampai di sana, buku ini pun mengisahkan bagaimana Habibie mulai dekat dengan generasi milenial. Bagaimana anak-anak mulai memanggilnya dengan sebutan “eyang” dan bagaimana ketika dirinya dijadikan film pun ada di buku ini, buku yang melengkapi buku biografi yang juga pernah ia terbitkan pada 2008 lalu.
“Sangat banyak perubahan dan saya tulis. Di buku ini, ada 25 bab yang baru. Kemudian ada insert di bab-bab yang sebelumnya ditambahkan,” ujar dia menjelaskan.
Pada kesempatan itu, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fachry Ali berkesempatan untuk memberikan orasi. Dalam orasinya tersebut, ketika membaca bab “N-250 Menghilang, R-80 Terbilang” Fachry mengaku teringat peluncuran pesawat N-250, pesawat rancangan Habibie, pada 10 Agustus 1995. Kegiatan yang menyadarinya akan eksistensi Habibie.
“Sambil meneteskan air mata, kepada kawan yunior saya, Prof Bahtiar Effendy, saya berkata, ‘Saya melihat yang terbang mengapung di udara itu bukan pesawat, melainkan Islam’,” kata Fachry.
Singkat cerita, Fachry menjelaskan apa maksud dari “menerbangkan Islam” yang ia katakan kepada Bahtiar Effendy itu. Pada 1995, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) baru berumur setengah dasawarsa. Kemunculannya pada 1990 telah membelah “kekuatan politik” nasionalisme Islam dan nasionalisme sekuler.
“Walau saya tak suka dengan frasa ini, namun penggolongan bersifat dikotomis ini bisa memberikan kita pegangan untuk melihat apa arti keberhasilan peluncuran pesawat N-250 itu dalam konteks ‘politik budaya’ kala itu,” ujarnya menjelaskan.
Walau hanya sekadar “akomodasi nonpolitik”, kata Fachry, kemunculan kekuatan politik Islam Nasionalis awal 1990-an itu telah menimbulkan reaksi kaum nasionalis sekuler. Itulah yang menyebabkan terjadinya pembelahan politik nasional.
Menurut Fachry, dalam keterbelahan politik tersebut, Habibie tampil memberi “isi” atas kebangkitan kelompok nasionalis Islam dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia mengungkapkan, hal itu tentu sangat berbeda dengan gambaran kelompok “Islam” masa lalu. Islam masa lalu ditandai keterbelakangan dalam bidang sosial-ekonomi, terlebih dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Dalam konteks inilah saya menghayati melesatnya pesawat N-250 pada 10 Agustus 1995 itu bukanlah sekadar benda yang terbang, melainkan ‘Islam’,” ujar Fachry di ujung orasinya.