Gila! Gara-gara Aturan Menteri KKP, Pulau Pari Mulai Dibuldozer

Jakarta – Setelah heboh kasus pemagaran laut, kini masyarakat kembali diramaikan dengan kasus yang terkait dengan penguasaan wilayah laut oleh pihak swasta.

Kali ini terjadi di Pulau Pari, Jakarta Utara. Sejak Jumat (17/1), pulau tersebut mulai dibuldozer untuk membangun cotage apung oleh swasta.

Karenanya, warga penghuni Pulau Pari mendesak Kementerian Kelautan dan Perikan (KKP) mencabut Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPR) di gugusan Pulau Pari yang telah diterbitkan oleh KKP untuk PT CPS yang akan membangun cotage apung tersebut.

Sebab, gara-gara PKKPR itu, sejak hari Jumat, 17 Januari 2025, mulai dilakukan pengerukan pasir laut dengan menggunakan excavator (beko) untuk pengembangan fasilitas pariwisata oleh swasta pada perairan dangkal di Gugusan Pulau Pari. Warga Pulau Pari yang mendengar adanya aktivitas dari excavator tersebut langsung datang ke lokasi dan meminta aktivitas pengerukan pasir laut tersebut dihentikan.

Sebelumnya, warga Pulau Pari juga sempat menghadang masuknya excavator di wilayah tersebut pada 1 November 2024. Upaya penghentian dan penghadangan tersebut dilakukan atas dasar penolakan atas pembangunan cottage apung dan dermaga wisata di Gugus Lempeng.

Ketua Forum Peduli Pulau Pari (FP3), Mustaghfirin menegaskan, Gugus Lempeng telah lama dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat sekitar, mulai dari penanaman dan budidaya mangrove secara kolektif tanpa bantuan dari pemerintah. Murni swadaya masyarakat secara kolektif sebagai bentuk pengelolaan dan penguasaan terhadap ruang hidupnya.

“Pembangunan tersebut dikhawatirkan berdampak pada ekosistem laut dan rusaknya terumbu karang, padang lamun,dan mangrove. Selain itu, berdampak terhadap pembatasan atau larangan melaut bagi para nelayan ketika melintas di wilayah tersebut sebagaimana yang saat ini terjadi di Pulau Biawak atau Pulau Kongsi,” ujar Mustaghfirin dalam keterangan tertulis yang diterima The Asian Post, Senin (20/1).

Hal senada disampaikan oleh Ketua RW 04 Pulau Pari, Sulaiman. Menurutnya, hingga sampai saat ini belum semua masyarakat Pulau Pari mengetahui tentang adanya PKKPR di gugusan Pulau Pari.

“Warga Pulau Pari menolak seluruh aktivitas pembangunan yang tidak sesuai dengan kebutuhan warga dan berpotensi merusak ekosistem kelautan dan perikanan yang ada di gugusan Pulau Pari,” tegas Sulaiman.

Beberapa warga Pulau Pari yang baru mengetahui adanya PKKPRL tersebut telah mengadukan dan meminta pendampingan kepada WALHI, KIARA, LBH Jakarta dan JKPP untuk membantu warga Pulau Pari supaya PKKPRL ini segera dicabut karena warga Pulau Pari menolak adanya PKKPRL tersebut.

Penolakan penerbitan PKKPRL tersebut, menurut Sulaiman, didasarkan pada tidak adanya persetujuan dari warga atas rencana pembangunan proyek tersebut, penerbitan PKKPRL juga tidak transparan, bahkan ada dugaan maladministrasi oleh KKP.

“Salah satu dampak nyata dari adanya PKKPRL tersebut adalah warga Pulau Pari mulai merasakan adanya gangguan dan intimidasi dari pihak-pihak yang mengaku dari Komando Distrik Militer (Kodim), termasuk dugaan untuk memerintahkan pekerja proyek untuk melakukan pengerukan pasir dan pencabutan mangrove dengan menggunakan alat berat,” paparnya.

Berdasarkan informasi tersebut, kata Sulaiman, mereka menemukan setidaknya tiga dugaan pelanggaran. Satu, dugaan maladministrasi dan tidak transparannya penerbitan PKKPRL oleh KKP karena tidak adanya partisipasi atau pemberitahuan rencana pembangunan proyek cottage apung dan dermaga wisata di Pulau Pari yang berpotensi merusak ekosistem laut.

“Ini bertentangan dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang mengharuskan dalam pelayanan publik wajib menerapkan asas perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB),” ujar Mustaghfirin.

Dua, kata dia, dugaan pengabaian dan pembiaran oleh KKP terhadap potensi kerusakan ekosistem laut seperti padang lamun, terumbu karang, dan mangrove yang selama ini menjadi pagar alami dari gelombang laut yang dapat menimbulkan abrasi.

“Ini bertentangan dengan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Pasal 69 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” tandasnya.

Tiga, lanjut dia, dugaan keterlibatan TNI khususnya Kodim atas tindakan pengamanan dan perintah untuk melakukan pengerukan pasir dan pencabutan mangrove.

“Keterlibatan TNI bukan hanya bertentangan dengan profesionalisme yang mengamanatkan TNI tidak berbisnis dan menjunjung tinggi HAM sebagaimana Pasal 2 huruf d Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, namun juga bertentangan dengan peran dan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan atas bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata di luar maupun dalam negeri kedaulatan negara sebagaimana diatur Pasal 5 dan 6 ayat (1) huruf a UU TNI,” paparnya.

Oleh sebab itu, warga Pulau Pari dan berbagai elemen masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Pulau Pari (KSPP), mendesak untuk, satu, agar KKP RI untuk mencabut PKKPRL dan menghentikan pembangunan cottage apung PT CPS, karena berpotensi menimbulkan kerusakan ekosistem laut dan perampasan ruang hidup di Pulau Pari.

Dua, KSPP meminta Panglima TNI untuk memeriksa dugaan pelanggaran indisipliner atas tindakan pengamanan dan dugaan perintah pengerukan pasir serta pencabutan mangrove di Gugusan Pulau Pari yang dilakukan oleh anggota TNI AD Kodim.

Tiga, KSPP meminta Ombudsman untuk melakukan pemeriksaan atas dugaan maladministrasi atas penerbitan PKKPRL yang dilakukan oleh KKP.

Empat, KSPP meminta Komnas HAM untuk melakukan pemantauan lapangan untuk memastikan tidak tidak adanya tindakan kekerasan atas penolakan proyek cottage apung dan dermaga wisata di Pulau Pari, Kepulauan Seribu yang dilakukan oleh warga Pulau Pari. (DW)

Kementerian KelautanKKPmangrovePulau Pari
Comments (0)
Add Comment