Jakarta— Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas pencalonan kepala daerah benar-benar membuat Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus kocar-kacir.
Strategi memecundangi musuh dengan “memborong tiket” gagal membendung parpol di luar KIM Plus untuk mengusung calon mereka. Kasus terbaru di Pilkada DKI Jakarta.
PDIP yang dihadang dengan diisolasi tanpa kawan koalisi, akhirnya bisa memajukan calonnya sendiri.
Padahal, jika strategi “memborong tiket” tersebut berhasil, calon mereka akan berhadapan dengan kotak kosong alias tinggal ketok palu saja. Karena tak ada lawan tanding. Semua itu berkah dari putusan MK tersebut.
Syarat ambang batas perolehan suara parpol atau gabungan parpol yang tadinya 25 persen tak berlaku lagi.
Dengan jumlah penduduk DKI Jakarta di atas 10,56 juta, syarat pengajuan calon gubernur di Jakarta cukup 7,5 persen.
Inilah mengapa anggota KIM di Baleg DPR mati-matian menolak putusan MK tersebut.
Sebab, keputusan MK tersebut memungkinkan parpol atau kumpulan parpol mengajukan calon kepala daerah meski hanya memeroleh 6,5 persen suara di pileg DPRD sebelumnya. Khususnya di daerah dengan jumlah penduduk di atas 12 juta.
Putusan MK tersebut tak hanya membuyarkan strategi KIM Plus di Jakarta. Yang cukup epic terjadi di Banten kemarin. PDIP yang ditinggal sendiri tanpa kawan justru mengusung Airin Rachmy Diani yang dilepeh Partai Golkar demi “korsa” KIM Plus.
“Pendzoliman” terhadap Airin ini justru menakutkan Golkar sendiri, saat tahu Airin justru diusung oleh PDIP.
Golkar pun buru-buru “menjilat ludah” mereka dengan mencalonkan Airin. Keputusan yang membuyarkan mimpi KIM Plus di Banten.
Airin, dengan elektabilitas tinggi, hampir bisa dipastikan akan melibas Andra Soni, cagub besutan KIM Plus. Kekuatan dinasti Chasan Sochib nyaris belum ada lawan tanding di Banten.
Virus buyarnya KIM Plus pun merambat ke mana-mana. Di Semarang, Dico Ganinduto, calon Walikota Semarang besutan KIM Plus batal maju. Diganti duet Yoyok Sukawi – Joko Santoso. Di Surakarta setali tiga uang.
KGPAA Mangkunegara X atau Gusti Bhre mundur dari pencalonan. Jago besutan KIM Plus itu diganti Respati Ardi.
Pergantian secara tiba-tiba kandidat yang sudah fix diusung tak lepas dari pemberlakuan putusan MK tentang Pilkada Serentak.
Putusan ini memungkinkan parpol atau kumpulan parpol non-parlemen mengajukan calon sendiri tanpa harus memiliki 25 persen suara.
KIM Plus, suka tak suka, harus mengubah strategi. Tadinya, dengan strategi “memborong tiket” mereka pede bisa menang mudah, karena jago rival kehabisan tiket. Kini, mimpi itu buyar. (*) Darto Wiryosukarto