Jakarta— DPR dan pemerintah mesti berpikir ulang untuk mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) TNI. Hampir semua elemen masyarakat yang masih berpikir waras, sudah kompak menolak.
Salah satu elemen masyarakat yang hari ini menyatakan sikap tegas menolak RUU TNI adalah alumni Universitas Islam Negeri (UIN).
Mereka yang tergabung Poros Alumni Ciputat sejak gerakan Reformasi 1998 dikenal militan.
Mereka menilai, persoalan berbangsa dan bernegara tahun-tahun belakangan hingga hari-hari ini semakin menjauh dari cita-cita Indonesia merdeka, sebagaimana termaktub di dalam UUD 1945.
Bukannya menjawab masalah-masalah yang kian mendera bangsa, mereka melihat pemerintah dan DPR justru tidak habis-habisnya melahirkan undang-undang yang mencurigakan. Ini dilakukan tanpa proses deliberasi, transparansi, dan partisipasi publik yang bermutu.
“Pemerintah dan DPR bukannya mengesahkan undang-undang perampasan aset koruptor yang krusial untuk mengatasi kesenjangan, dan selaras dengan Konvensi PBB melawan Korupsi (UNCAC, 2003) misalnya. Tapi justru kini UU TNI direvisi dengan cara-cara yang semakin aneh saja,” tegas Nury Sybli, alumni Ushuluddin UIN, dalam keterangan tertulis yang diterima The Asian Post, Rabu (19/3).
Di sisi lain, menurut Imparsial, berdasarkan informasi dari Babinkum TNI, menyebutkan, sejak 2023 sejumlah 2.500 TNI aktif telah menduduki jabatan sipil di berbagai kementerian dan lembaga.
“Kasus kenaikan pangkat Letkol Teddy Indra Wijaya juga menjadi contoh konkret betapa rancunya militer aktif menduduki jabatan sipil tanpa mengundurkan diri dari kemiliteran,” tulisnya.
Jika dibiarkan, mereka khawatir, RUU TNI ini dapat membuka kembali ruang bagi militer untuk terlibat lebih jauh dalam urusan sipil dan terjadinya militerisasi. Gerakan militerisasi merupakan kemunduran dari semangat reformasi sektor keamanan yang telah diperjuangkan sejak tahun 1998.
Salah satu poin yang paling mengkhawatirkan dalam RUU TNI, lanjut mereka, adalah perluasan kewenangan bagi TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil, sebagaimana diatur dalam Pasal 47.
Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 secara umum melarang anggota TNI aktif untuk menduduki jabatan di kementerian atau lembaga sipil sebelum mereka mengundurkan diri atau pensiun, dengan pengecualian untuk 10 kementerian/lembaga tertentu.
Berdasarkan draf terakhir yang beredar dan yang dapat diakses oleh masyarakat sipil, RUU TNI mengusulkan perubahan signifikan dengan memperbolehkan perwira TNI aktif untuk menjabat di 16 kementerian/lembaga tanpa harus mengundurkan diri.
Keenam belas kementerian/lembaga yang dimaksud meliputi Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretariat Militer Presiden, Intelijen Negara, Badan Siber dan Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Dewan Pertahanan Nasional (DPN), Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (SAR Nasional), Badan Narkotika Nasional (BNN).
Selanjutnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).
Perluasan ini secara nyata meningkatkan potensi keterlibatan militer dalam berbagai aspek pemerintahan sipil dan memicu kembalinya praktik Dwifungsi ABRI. Dwifungsi ABRI adalah doktrin kontroversial pada masa Orde Baru yang memberikan peran ganda kepada militer dalam bidang pertahanan dan sosial-politik.
Kekhawatiran ini didasarkan pada pandangan bahwa TNI seharusnya fokus pada tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara. TNI juha tidak boleh terlibat dalam urusan tata kelola sipil yang seharusnya menjadi ranah profesionalisme warga sipil.
Pembahasan RUU yang tergesa-gesa dan menghindari pantauan publik dapat dilihat sebagai upaya yang disengaja. Upaya ini diduga untuk memperluas pengaruh militer ke dalam ranah sipil secara signifikan.
Secara khusus, dimasukkannya Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam daftar ini menimbulkan pertanyaan serius.
Kejaksaan Agung adalah lembaga penegak hukum sipil. Keterlibatan aktif personel militer di dalamnya berpotensi mengaburkan batas antara fungsi pertahanan dan penegakan hukum.
Demikian pula, Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang memiliki fokus pada pengelolaan sumber daya alam dan pemberdayaan masyarakat sipil. Tidak secara langsung berkaitan dengan fungsi pertahanan negara yang menjadi tugas pokok TNI.
Selain itu, RUU TNI mengusulkan penambahan tugas operasi militer selain perang (OMSP), sebagaimana tercantum dalam Pasal 7. Jumlah tugas OMSP yang semula 14 dalam UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 direncanakan akan ditambah menjadi 17.
Penambahan ini mencakup tugas-tugas yang berkaitan dengan ancaman siber dan penanggulangan narkotika.
Perluasan peran TNI ke dalam ranah-ranah yang secara tradisional merupakan tanggung jawab lembaga penegak hukum dan sipil ini menimbulkan kekhawatiran dan potensi TNI melampaui batas kewenangannya dan memasuki wilayah penegakan hukum sipil.
Pelibatan militer dalam isu-isu seperti keamanan siber dan narkotika, yang seharusnya ditangani oleh aparat kepolisian dan badan-badan sipil terkait, dapat menyebabkan militerisasi sektor-sektor tersebut dan berpotensi merusak otoritas serta keahlian institusi sipil.
Hal ini juga berisiko menormalisasi intervensi militer dalam kehidupan sipil dan berpotensi mengarah pada penerapan pendekatan militer terhadap masalah-masalah sipil.
“Bagi kami, jika pun membutuhkan revisi dan perbaikan undang-undang, justru seharusnya lebih difokuskan pada penguatan kemampuan pertahanan inti TNI dan peningkatan kesejahteraan prajurit. Bukan pada perluasan peran dalam urusan sipil,” tulisnya.
Tuntutan Poros Alumni UIN Ciputat
Menyikapi situasi yang terjadi, Poros Alumni UIN Ciputat, menyatakan sikap sebagai berikut:
- Menolak rencana pengesahan RUU TNI menjadi Undang-Undang TNI.
- Menyerukan agar anggota DPR mengevaluasi dan mempertanyakan ribuan TNI aktif yang telah masuk ke jajaran eksekutif dan menduduki jabatan sipil.
- Menyerukan kepada Presiden dan DPR untuk segera menghentikan proses pembahasan RUU TNI.
- Mengajak seluruh warga negara untuk aktif menyuarakan penolakan terhadap RUU TNI.
- Mendukung peningkatan kapasitas dan profesionalisme TNI dalam pertahanan negara tanpa memasuki ranah wilayah layanan publik dan penegakan hukum. (DW)