THE ASIAN POST, JAKARTA – PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk kembali ramai beberapa hari terakhir ini akibat kasus penyelundupan motor Harley Davidson dan sepeda Brompton yang dilakukan oleh mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Ari Askhara dalam pesawat baru Garuda yang diterbangkan dari Toulouse, Perancis.
Di dalam pesawat tersebut, ikut pula Ari Askhara dan empat direksi lainnya. Belum genap sebulan setelah kedatangan motor gede (moge) selundupan tersebut, Menteri BUMN Erick Thohir ‘turun tangan’ dan memecat Ari Askhara serta memberhentikan empat direksi lainnya.
Tak berhenti sampai di sana, beberapa pekerja PT Garuda Indonesia pun ikut membongkar ‘borok’ eks Dirut Garuda Indonesia tersebut. Sontak, peristiwa ini mengingatkan kita dengan beberapa kasus lainnya di maskapai Garuda Indonesia beberapa waktu lalu. Maskapai pelat merah ini seperti tidak pernah absen kasus dari waktu ke waktu.
Sebelumnya, Garuda diramaikan kasus manipulasi laporan keuangan perusahaan. Semua bermula dari penolakan dua komisaris Garuda Indonesia, Chairul Tanjung dan Dony Oskaria, dalam pengesahan laporan keuangan perusahaan periode 2018.
Dua komisaris itu menolak karena tidak setuju bila transaksi kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan dengan PT Mahata Aero Teknologi yang merupakan piutang masuk ke pos pendapatan dan sudah dibukukan oleh perusahaan. Alhasil, perusahaan negara itu berhasil membalikkan kerugian pada 2017 menjadi laba bersih US$809 ribu pada 2018.
Kemenkeu dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun menyelidiki laporan keuangan tersebut. Hasilnya, laporan dianggap tidak sah karena tidak sesuai dengan standar pelaporan dan akuntansi. Kemenkeu pun memberikan sanksi kepada perusahaan agar melakukan koreksi terhadap laporan keuangan. Masing-masing komisaris dan direksi Garuda dikenai denda secara kolektif sebesar Rp100 juta oleh OJK akibat kasus ini.
Kemudian, mundur lagi ke beberapa tahun sebelumnya, ada nama eks Dirut Garuda Emirsyah Satar yang diduga terlibat kasus suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat Airbus SAS dan Rolls Royce PLC ketika ia masih memimpin maskapai penerbangan berpelat merah tersebut.
Emir menerima suap untuk pengadaan 50 mesin pesawat tipe Airbus A330-300 untuk Garuda Indonesia oleh Rolls Royce. Kejadian tersebut otomatis membuat Emir masuk Hotel Prodeo karena statusnya sebagai tersangka Tindakan Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Terakhir yang juga tak kalah heboh adalah kasus pembunuhan aktivis Munir, yang juga melibatkan pemimpin dan pekerja dari maskapai Garuda Indonesia.
Indra Setiawan, eks Dirut Garuda Indonesia periode 2002-2005 divonis penjara 1,5 tahun karena dianggap menjadi pihak yang memberi bantuan kepada Pollycarpus, pembunuh aktivis HAM Munir. Bantuan itu dalam bentuk penunjukkan Pollycarpus menjadi staf perbantuan perusahaan dalam penerbangan bersama Munir.
Pengamat BUMN sekaligus peneliti senior di Visi Integritas Danang Widoyoko melihat berbagai kasus di Garuda Indonesia tidak lepas dari ketatnya aturan bisnis penerbangan dan minimnya tekanan untuk mencapai target dari pemerintah. Ia pun yakin, siapapun yang duduk di ‘kursi panas’ maskapai pelat merah tersebut akan memiliki pandangan bahwa negara tidak akan membiarkan perusahaan bangkrut.
“Siapapun direksinya, Garuda tidak akan bangkrut. Mereka akan selalu ditomboki oleh pemerintah karena Garuda merupakan perusahaan ‘flagship’,” ujar Danang seperti dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (12/12/2019).
Hasilnya, direksi Garuda Indonesia tidak memiliki tekanan untuk berprestasi dan mencapai target tertentu.
“Harusnya analoginya seperti sepak bola. Pelatih sepak bola tidak perform, langsung dicopot. Tidak peduli apa yang terjadi yang penting masalahnya target yang harus dicapai. Ukuran norma tidak jelas,” tegas Danang.
Back-up dari pemerintah juga membuat pihak eksternal tetap percaya dan menempatkan investasi di Garuda. Kebiasaan tersebut menurut Danang harus segera diubah. Pasalnya, jika dibiarkan berlarut-larut, bisa merugikan pemerintah.
“Kalau Garuda tidak khawatir, pemerintah yang akan menanggung. Dari pada nombok 5-10 tahun lagi, lebih baik kerja keras dari sekarang,” tutur Danang.
Dia kemudian menjelaskan beberapa hal yang bisa dilakukan Garuda untuk memperbaiki kinerja dan citra. Pertama, aturan kontrak direksi harus jelas dan dievaluasi secara berkala.
“Kontrak direktur harus jelas. Berapa lama? CEO baru tarhetnya apa? Inovasi apa yang harus dibuat untuk lunasi utang. Tekanan dan sanksi jelas. Jika tak capai target lalu apa?” ungkap Danang.
Kedua, pemerintah dalam hal ini BUMN bisa melakukan lelang jabatan seperti yang dilakukan Presiden Jokowi.
“Erick Thohir bisa lakukan lelang jabatan. Adopsi praktik terbaik di swasta. Kalau perlu para calon harus memiliki catatan dan presentasi. Tidak hanya rencana bisnis, tapi bagaimana corporate kultur di internal Garuda. Itu harus dimasukkan, bukan masalah keuangan saja,” kata Danang.
Dia melihat bahwa aspek moril perlu diperhatikan ketika akan mencari direksi Garuda.
Di lain kesempatan, Pengamat BUMN dan Kepala Lembaga Manajemen FEB UI Toto Pranoto menyatakan sebagai perusahaan terbuka yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), aspek transparansi menjadi hal penting yang seharusnya dilakukan oleh manajemen Garuda.
Jika tak transparan, maka akan mempengaruhi sikap investor dalam melakukan transaksi saham perusahaan karena sebagian saham Garuda Indonesia juga dimiliki publik.
“Investor akan langsung bereaksi saat terjadi kejadian luar biasa. Apabila dianggap akan berdampak negatif, investor tidak rugi untuk melepas sahamnya,” ucap Toto.
Beberapa ‘kenakalan’ manajemen Garuda Indonesia, sambung Toto, membuktikan bahwa perusahaan tidak patuh terhadap peraturan yang berlaku, baik di pasar modal maupun sebagai perusahaan penerbangan. (Steven)