Garang! Gubernur Bali: Premanisme Akan Berhadapan Langsung dengan Adat dan Negara   

Denpasar – Gubernur Bali, Wayan Koster, menegaskan sikap tegas Pemerintah Provinsi Bali terhadap organisasi kemasyarakatan (ormas) yang meresahkan masyarakat. Pernyataan ini disampaikan bersama dengan Ketua DPRD Provinsi Bali, Pangdam IX/Udayana, Kapolda Bali, Kajati Bali, Ketua Pengadilan Tinggi Denpasar, Danrem 163/Wira Satya, dan Kepala BIN Daerah Bali pada momen Hari Purnama, belum lama ini.  

Gubernur Koster menekankan bahwa pembangunan Bali dijalankan berdasarkan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru. Koster menerangkan, visi tersebut selaras dengan prinsip Trisakti Presiden pertama RI, Soekarno, yang berbunyi berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. 

Yang mana semuanya, terbingkai dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berpedoman pada Ideologi Pancasila.  

“Visi ini bertujuan untuk menjaga kesucian dan keharmonisan alam Bali beserta isinya, guna mewujudkan masyarakat Bali yang sejahtera dan bahagia, baik secara niskala maupun sekala,” ujar Koster, dikutip Jumat, 16 Mei 2025. 

Ia lebih jauh mengatakan, pendirian ormas dilindungi oleh UUD 1945, yang masuk dalam poin hak berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Meskipun demikian, ormas wajib menjaga nilai budaya, agama, moral, norma kesusilaan, etika, serta ketertiban umum dalam rangka mewujudkan perdamaian di masyarakat.   

Keberadaan ormas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2016, membuat pengurus ormas wajib melapor kepada pemerintah daerah terkait pendiriannya. 

Di Bali sendiri, tercatat sudah ada 298 ormas terdaftar dengan mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Ormas-ormas ini bergerak di bidang kepemudaan, kemanusiaan, kebudayaan, kebangsaan, dan lingkungan. 

Koster lalu mengingatkan bahwa dirinya selaku kepala daerah memiliki kewenangan untuk menolak menerbitkan SKT bagi ormas yang dinilai tidak sesuai dengan kondisi wilayah Bali. 

Keamanan dan ketertiban di Bali sendiri sudah dikelola oleh institusi resmi negara seperti Kepolisian dan TNI. Selain itu, Bali memiliki Sistem Pengamanan Lingkungan Terpadu berbasis adat yang disebut Sipandu Beradat dan Bantuan Keamanan Desa Adat (Bankamda) yang melibatkan pecalang sebagai penjaga keamanan di desa adat.   

Sistem tersebut sudah diatur dalam Peraturan Gubernur Bali Nomor 26 Tahun 2020 sebagai pelaksanaan Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali. Dari sini, Koster mengingatkan bahwa penyelesaian masalah sosial harus kembali kepada akar budaya Bali, yaitu melalui peran desa adat.

“Bali adalah tempat yang kaya dengan tradisi dan budaya. Kita harus mengembalikan penyelesaian masalah kepada desa adat yang sudah terbukti efektif menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,” imbuh Koster. 

Di samping itu, Pemerintah Provinsi Bali bersama Kejaksaan Tinggi Bali (Kejati) telah berusaha mengimplementasikan sistem hukum adat melalui program-program seperti Bale Paruman Adhyaksa dan Bale Restorative Justice.

Sistem ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah sosial secara damai, dengan tanpa perlu melalui jalur pengadilan formal. Bale Paruman Adhyaksa bertujuan untuk menjadi solusi bagi penyelesaian masalah sosial, dengan mengedepankan kebersamaan dalam menyelesaikan konflik.

Pendekatan ini memanfaatkan kearifan lokal yang sudah terbukti efektif dalam menjaga keharmonisan masyarakat Bali. 

Pernyataan Koster mengenai pentingnya melibatkan sistem adat dalam penyelesaian masalah ini secara tak langsung memberikan sinyal bahwa Bali tidak membutuhkan ormas yang membawa agenda tersembunyi, yang bisa merusak keharmonisan sosial.

Koster juga mengingatkan masyarakat untuk tidak menganggap remeh kekuatan budaya Bali dalam menjaga ketertiban.

“Siapa pun yang menyalahgunakan nama organisasi untuk meresahkan masyarakat, akan berhadapan langsung dengan adat dan negara. Jangan anggap enteng kekuatan budaya Bali,” tegasnya. 

“Ini bukan hanya urusan hukum. Ini pertaruhan masa depan Bali,” tukas Koster.

Ia juga tak lupa mengapresiasi para pendatang yang membentuk paguyuban berdasarkan kesukuan, seperti Paguyuban Sunda, Minang, Batak, Banyuwangi, dan lainnya. Baginya, Bali sebagai bagian dari NKRI, tidak menutup diri terhadap pendatang. 

Para pendatang pun perlu menghormati nilai-nilai budaya lokal dan bekerja memberikan kontribusi terhadap daerah yang menjadi tempat tinggalnya.   

Dengan pendekatan itu, Bali diharapkan dapat tetap menjadi destinasi wisata yang menarik. Yang mana, masyarakatnya hidup secara harmonis dan aman. SW

BaliGubernur BaliI Wayan kosterpremanisme
Comments (0)
Add Comment