Jakarta — Persatuan Insinyur Indonesia (PII) mengungkapkan keprihatinannya terhadap perkembangan sektor industri yang terjadi di Indonesia yang terus menyusut.
Deindustrialisasi terus terjadi ditandai dengan menurunnya kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) dari 30% pada 2000 menjadi hanya 19% saat ini.
Padahal, pemerintahan Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi 8% dan menjadikan Indonesia sebagai negara maju pada 2045.
“Ciri negara maju memiliki industri yang kuat dan kelas menengah yang tebal,” ujar Ilham Akbar Habibie, Ketua Umum PII, dalam diskusi dengan Forum Pemimpin Redaksi, di Jakarta, 22 April 2025.
Sayangnya, kata Ilham, kita punya industri tapi tidak kuat, dan kelas menengah berkurang sekitar 10 juta selama lima tahun terakhir.
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Pantau Institute, Yos Yuslizar, menilai, tidak kuatnya industri Indonesia, dan menurunnya kelas menengah disebabkan dua hal.
“Pertama, industri kita high cost karena terjadi un-efisiensi yang disebabkan kebicoran hingga 30%,” ujarnya.
Kebocoran tersebut, kata dia, mulai terjadi saat mengurus perizinan usaha, proses produksi, sertifikasi/standirdisasi produk, hingga pungli dalam proses distribusi sampai ke konsumen.
“Ini perilaku korup oknum-oknum, baik di pemerintahan maupun di masyarakat,” tegasnya.
Banyaknya investor asing yang hengkang dari Indonesia, kata Yos, adalah bukti nyata dari tingginya biaya produksi.
Kedua, lanjut dia, menurunnya kelas menengah karena dengan terjadinya deindustrialisasi berimbas ke sektor usaha di mana kelas menengah banyak mensuplai kebutuhan sektor industri.
“Menurunya kelas menengah hanya imbas dari deindustrialisasi,” ujarnya.
Selama 5 tahun terakhir deindustrialisasi semakin meningkat, kata Yos, karena di level pemerintah tidak memberikan teladan dalam hal kepastian hukum.
“Banyak aturan hukum yang dikangkangi untuk mempertahankan kekuasaan. Mungkin ini gara-gara Dokterandus nyamar jadi Insinyur, sehingga terjadi deindustrialisasi,” candanya. DW