Fenomena Gunung ES di Ditjen Pajak

INDONESIA pantas berduka. Belum lama reda kasus pembunuhan berencana yang didalangi Jenderal Polisi Bintang Dua Ferdy Sambo yang menimbulkan krisis di lembaga kepolisian, kini kasus Rafael Alun Trisambodo, pejabat Eselon III Direktot Jenderal Pajak (DJP) yang membuat jatuh wibawa Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Awalnya sepele. Gara-gara aksi kekerasan yang dilakukan remaja anak Rafael, kemudian melebar ke soal kekayaan pejabat Kemenkeu yang nilai dan asal-usulnya mencurigakan. Kekayaan tak wajar pejabat Ditjen Pajak dengan gaya hidup mewah serta anaknya yang sok jagoan dan suka pamer kekayaan yang menciderai perasaan publik.

Apalagi, Rafael yang menyampaikan laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) sebesar Rp56 miliar, namun dari 40 rekening yang dimilikinya PPATK yang menemukan angka Rp500 miliar. Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan Jeep Rubicon berpelat nomor B 2571 PBP yang dipakai anaknya, ternyata atas nama Ahmad Saefudin, warga yang tinggal di gang sempit kawasan Mampang Prapatan dan penerima BLT COVID-19.

Menteri Keuangan Sri Mulyani memang sudah mencopot Rafael dari jabatannya. Dan hampir berbarengan, Eko Darmanto yang gemar pamer kekayaannya pun ikut dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta. Begitu juga KPK yang sudah memeriksa asal usul kekayaan Rafael maupun Darmanto. Namun apakah masalahnya selesai dan kemudian lahir kesadaran untuk memperbaiki mental pejabat publik dan sistemnya?

Masyarakat tidak yakin dan menebak bahwa kasus tersebut hanya membuat heboh sebentar lalu hilang. Masyarakat sangat menginginkan adanya pegawai Ditjen Pajak yang bersih apalagi Sri Mulyani yang menjabat sebagai Menkeu pada 2008 melakukan reformasi perpajakan.

Namun setelah itu tetap saja ada sederet pegawai pajak yang tertangkap dalam pusaran korupsi. Begitu juga Ditjen Bea Cukai. Seorang kawan mantan kapten kapal mengatakan kepada penulis, korupsi dan pungutan liar di laut lebih mengerikan lagi daripada di darat. 

Fenomena kekayaan tak wajar pejabat juga sudah menjadi rahasia umum. Rafael dan Eko Darmanto hanya ketiban apes, seperti halnya pegawai staf Ditjen Pajak Gayus Tambunan yang membuat heboh pada 2010 silam. Kalau semua pegawai Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai dibuka kekayaannya dan ditelusuri asal usulnya, boleh jadi akan meledak kehebohan-kehebohan baru. Sebab, sejujurnya masyarakat menilai kasus-kasus seperti Gayus atau Rafael adalah hanya fenomena puncak gunung es (iceberg phenomenon).

Reformasi perpajakan yang telah beberapa kali dilakukan Kemenkeu seharusnya bisa membawa perubahan jika reformasi diikuti dengan perubahan mental manusianya. Namun, perbaikan mental itu terkait soal budaya dan merubah budaya itu membutuhkan tangan dingin seorang pemimpin yang kuat dan berani mengambil tindakan yang tidak popular, tidak cukup seorang ekonom yang pintar. Makanya, kisah para pemimpin yang berhasil terutama dalam mengatasi krisis, ilmu dan cara yang mereka tempuh tidak ditemukan di textbook atau teori kepemimpinan.

Tanpa adanya kesadaran aparat negara, maka kewajiban menyampaikan LHKPN pun ternyata belum bisa menghilangkan perilaku korupsi. Pengawasan terhadap illicit enrichment atau penambahan kekayaan pejabat secara tidak wajar ternyata juga lemah sehingga upaya Indonesia untuk mengatasi masalah utama bangsa ini yaitu korupsi, kemiskinan, dan ketimpangan, belum membuahkan hasil sesuai harapan.

Padahal, upaya mengatasi tiga masalah utama tersebut yang nyaring terdengar di setiap pesta demokrasi pergantian rezim, akhirnya hanya jargon untuk meraih simpati masyarakat yang menaruh harapan besar dan menginginkan perubahan.

Sehingga, rakyat pun merasa dibodohi dan keinginan untuk memiliki pemerintahan yang bersih, jujur dan tulus melayani seperti di negeri tetangga Singapura, terus jauh panggang dari api. Andai kata tidak ada kasus Mario Dandy yang menganiaya David, Rafael Alun Trisambodo dan para pejabat Ditjen Pajak pasti masih bebas memamerkan Rubicon atau Harley Davidson dan dipertontonkan kepada masyarakat yang sering senewen karena dikejar-kejar pajak. (Karnoto Mohamad)

Ditjen PajakDJPKementerian KeuangankorupsiLHKPNRafael Alun Trisambodo
Comments (0)
Add Comment