Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung.
Indonesia kini berada di sebuah persimpangan besar. Di satu sisi, bangsa ini memiliki potensi untuk berdiri tegak sebagai negara mandiri yang mengandalkan kekuatan sendiri, baik dalam pangan, energi, teknologi, maupun pertahanan.
Di sisi lain, Indonesia kerap memilih jalan “kenyamanan”, yang secara jangka pendek menguntungkan, namun justru menanamkan ketergantungan struktural terhadap kekuatan global. Tesis yang mendasari pemikiran ini adalah: “Mengembargokan diri secara kebijakan untuk kemandirian atau menyenangkan diri dengan kebergantungan.” Dua pilihan yang tampaknya paradoksal, namun menjadi sangat krusial untuk menentukan masa depan negeri ini.
Fenomena ini tampak dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa. Ketika negara memilih jalan mudah dengan membuka pasar selebar-lebarnya bagi produk asing, menyerahkan pengelolaan sumber daya kepada pihak luar, atau terlalu bergantung pada pinjaman dan teknologi dari luar negeri, maka negara sedang “menyenangkan diri” dengan ketergantungan.
Sebaliknya, bila negara memilih untuk “mengembargokan diri” —dalam arti membatasi akses eksternal dan memaksimalkan potensi internal— maka jalan itu, walaupun sulit, adalah jalan kemandirian.
Tujuan strategis dari mengembargokan diri secara kebijakan untuk kemandirian nasional Indonesia adalah membangun kekuatan internal bangsa agar tidak terombang-ambing oleh dinamika dan tekanan global, serta melepaskan ketergantungan kronis pada impor barang, teknologi, dan modal asing yang selama ini melemahkan daya saing dan kedaulatan pengambilan keputusan nasional.
Melalui langkah ini, Indonesia diarahkan untuk memperkuat kapasitas produksi dalam negeri, menciptakan ekosistem industri yang tangguh, mendorong inovasi lokal, serta memastikan bahwa kebutuhan dasar rakyat—seperti pangan, energi, dan teknologi strategis—dipenuhi oleh kemampuan bangsa sendiri.
Strategi ini bukan sekadar proteksionisme sesaat, melainkan jalan panjang untuk membentuk struktur ekonomi yang berdikari, mengurangi peluang korupsi dari rente impor, dan memulihkan kebanggaan nasional sebagai negara yang tidak hanya besar secara geografis dan jumlah penduduk, tetapi juga kuat dan mandiri dalam praktiknya.
Arti dan Operasional Mengembargokan Diri secara Kebijakan
Mengembargokan diri secara kebijakan adalah sebuah frasa yang mencerminkan sikap atau strategi suatu negara yang secara sadar dan sengaja menetapkan kebijakan yang menutup diri dari ketergantungan eksternal, dalam aspek ekonomi, teknologi, pertahanan, dan sumber daya strategis.
Ini bukan karena negara tersebut dijatuhi sanksi atau embargo oleh negara lain, melainkan karena pilihan sendiri untuk memutus ketergantungan demi mencapai kemandirian nasional.
Ini diartikan sebagai penerapan kebijakan-kebijakan untuk mengurangi atau menghentikan impor barang strategis tertentu (misal: pangan, energi, teknologi tinggi). Mengembargokan diri ini membuat kondisi keharusan untuk
membangun substitusi impor secara sistematis dan terencana.
Mengembargokan diri dioperasikan secara keharusan untuk peningkatan kapasitas produksi domestik dengan proteksi pasar internal. Mengambargokan diri menutup intervensi asing dalam sektor-sektor penting.
Mengembargokan diri juga menyeleksi ketat kerja sama ekonomi internasional yang dapat memperlemah posisi tawar negara.
Iran yang Diembargo
Contoh paling jelas dari kemandirian yang lahir dari keterpaksaan adalah Iran. Sejak Revolusi 1979, Iran dikenai sanksi ekonomi, teknologi, dan militer dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat.
Namun, alih-alih runtuh, Iran justru bertransformasi menjadi negara yang mandiri dalam berbagai bidang. Industri pertahanannya kini mampu memproduksi sendiri drone, rudal, dan teknologi siber. Energi nuklir dikembangkan bukan hanya untuk pertahanan, tapi juga untuk pembangkit listrik dan riset medis.
Iran menunjukkan bahwa embargo justru bisa menjadi katalis bagi kemandirian. Kemampuan suatu bangsa untuk menentukan pilihannya sendiri merupakan indikator utama dari kebebasan.
Dalam konteks ini, embargo mempersempit pilihan, namun justru memaksa negara untuk mengembangkan kapabilitas internalnya. Ketika negara tak bisa mengimpor teknologi, mereka terpaksa mengembangkan teknologinya sendiri.
Kemandirian Strategis China oleh Kondisi Internal dan Pengembargoan Parsial
China menjadi salah satu contoh paling menonjol dari negara yang mencapai kemandirian strategis bukan semata-mata karena pilihan idealistik, tetapi karena paksaan historis dan tekanan geopolitik.
Jumlah penduduk yang sangat besar menjadikan kebutuhan domestik China sebagai tekanan internal yang konstan—China harus mampu memberi makan, menghidupi, dan mempekerjakan lebih dari 1,4 miliar jiwa.
Ironisnya, China justru memiliki keterbatasan sumber daya alam per kapita yang parah, memaksanya untuk mengembangkan teknologi substitusi dan efisiensi energi secara mandiri. Di sisi lain, kestabilan politik yang dijaga oleh sistem satu partai dan politik homogenitas berkelanjutan telah memungkinkan perencanaan jangka panjang tanpa banyak gangguan ideologis.
Budaya kerja keras yang berakar dalam Konfusianisme dan Revolusi Industri Sosialis turut memperkuat daya tahan bangsa ini menghadapi tantangan global.
Namun, elemen pemaksa terkuat datang dari luar: tekanan dari negara-negara kapitalis Barat yang tidak menyukai kebangkitan China sebagai kekuatan ekonomi dunia. Embargo parsial dan pembatasan teknologi dari Amerika Serikat terhadap produk dan perusahaan teknologi tinggi China seperti Huawei, ZTE, dan SMIC, mempercepat proses otokatalitik kemandirian: China tidak punya pilihan selain menciptakan ekosistem produksinya sendiri.
Dalam konteks inilah, China secara de facto menerapkan “mengembargokan diri secara kebijakan” sebagai strategi bertahan dan tumbuh. Alih-alih melemah, tekanan global tersebut justru menguatkan tekad dan struktur internal negeri Tirai Bambu, menjadikan kemandirian sebagai keniscayaan, bukan kemewahan.
Kemandirian Bukan Otarki, tapi Kekuatan Strategis
Kita harus membedakan antara kemandirian dan otarki. Kemandirian bukan berarti menutup diri total dari dunia, melainkan memastikan bahwa dalam aspek-aspek vital—seperti pangan, energi, pertahanan, dan teknologi—Indonesia tidak berada dalam posisi lemah dan tergantung.
Otarki adalah sistem ekonomi atau kebijakan negara di mana negara berusaha memenuhi seluruh kebutuhan ekonominya sendiri tanpa bergantung pada perdagangan atau bantuan dari luar negeri.
Kemampuan suatu negara untuk bertindak sesuai dengan kepentingannya tanpa dikendalikan oleh negara lain merupakan inti dari kedaulatan nasional yang sejati, yang mencakup kemandirian dalam pengambilan keputusan politik, ekonomi, pertahanan, dan budaya.
Negara yang memiliki kapasitas ini dapat menentukan arah pembangunan, memilih mitra strategis, serta menetapkan kebijakan domestik dan luar negeri tanpa tekanan atau intervensi eksternal.
Hal ini hanya dapat dicapai bila negara tersebut memiliki ketahanan ekonomi, kekuatan produksi domestik, sistem politik yang stabil, serta legitimasi yang kuat dari rakyatnya.
Dalam kondisi ini, negara tidak menjadi satelit kepentingan asing, melainkan aktor merdeka yang berdiri di atas pijakan kepentingan nasionalnya sendiri, baik dalam menghadapi krisis global maupun dalam membangun masa depan bangsanya.
Iran memang diembargo dari luar, tapi Indonesia bisa “mengembargokan” dirinya secara sukarela dalam kebijakan publik tertentu. Misalnya, alih-alih terus mengimpor bahan pangan strategis, Indonesia bisa menetapkan moratorium impor beras atau kedelai dan mengarahkan semua kebijakan ke penguatan produksi dalam negeri.
Kebijakan semacam ini akan terasa menyakitkan dalam jangka pendek, namun memperkuat posisi Indonesia dalam jangka panjang.
Ketergantungan sebagai Zona Nyaman Berbahaya
Mengapa banyak negara, termasuk Indonesia, memilih untuk tetap dalam zona ketergantungan? Jawabannya adalah kenyamanan. Impor barang lebih murah dan instan dibanding membangun industri sendiri.
Bantuan luar negeri lebih cepat cair dibanding mobilisasi dana dalam negeri. Ketergantungan ekonomi terhadap pusat kapitalisme global menciptakan struktur yang membuat negara berkembang terus menerus berada dalam posisi subordinat.
Kenyamanan ini ibarat candu. Kita merasa aman selama masih bisa mengimpor gandum, membeli senjata canggih, atau menerima investasi asing. Tapi pada saat dunia berubah—seperti ketika pandemi COVID-19 atau perang dagang global—ketergantungan ini menjadi jebakan.
Negara yang tak punya produksi vaksin sendiri, misalnya, harus antre. Negara yang tidak punya pengolahan logam sendiri, harus tunduk pada harga pasar luar.
Narasi Kemandirian Indonesia Merah Putih
Indonesia sejak lama memiliki narasi kemandirian yang indah, seperti dalam semangat “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri) yang dicanangkan Soekarno.
Bahkan, dalam dokumen visi jangka panjang seperti RPJPN 2025–2045, terdapat frasa “Indonesia Berdaulat, Maju, Adil, dan Makmur.” Namun, realitasnya masih jauh panggang dari api. Banyak industri strategis justru dikuasai asing, dari pertambangan nikel hingga pembangkit listrik, teknologi transportasi dan lainnya.
Frasa “Merah Putih” dapat dijadikan narasi kuat tentang kedaulatan produksi—sebuah komitmen bahwa barang, jasa, teknologi, dan kebutuhan strategis bangsa diproduksi sepenuhnya oleh anak bangsa di tanah air sendiri, tanpa ketergantungan pada pihak asing.
Namun, narasi ini hanya akan menjadi kenyataan bila negara berani mengambil langkah mengembargokan diri secara kebijakan, yaitu dengan secara sadar membatasi ketergantungan impor dan mengarahkan seluruh daya dan sumber daya nasional untuk membangun kapasitas produksi mandiri.
Tanpa kebijakan semacam itu, “Merah Putih” hanya akan menjadi slogan nasionalistik yang kosong makna, digaungkan di podium tetapi tak berjejak dalam sistem ekonomi, industri, dan konsumsi rakyat Indonesia.
Contoh Nyata Parsial Kebijakan Mengembargo
Beberapa kebijakan Indonesia menunjukkan potensi “mengembargokan diri” secara strategis. Misalnya sebuaj kebijakan parsial dalam hal larangan ekspor bijih nikel diberlakukan.
Larangan ini memaksa pelaku usaha membangun pabrik pemurnian di dalam negeri. Tetapi kebijakan ini tidak sepenuhi nya diikuti, dan bahkan ini ditentang dengan berbagai cara.
Dengan kebijakan pemaksaan ini, nilai tambah naik signifikan. Indonesia bukan lagi pengekspor tanah mentah, tapi mulai mengekspor logam olahan parsial seperti 12 %, 22 % dan 70 % logam Nikel.
Namun, kebijakan ini belum berlanjut secara konsisten. Setelah adanya tekanan dari Uni Eropa melalui WTO, pemerintah sempat goyah.
Meskipun ditentang habis-habisan di forum internasional, pemerintah Indonesia tetap mempertahankan kebijakan ini sebagai bagian dari strategi pembangunan industri nasional yang berbasis pada kekuatan sendiri, sekaligus sebagai bentuk keteguhan dalam mengembargokan diri secara kebijakan terhadap ketergantungan ekspor bahan mentah.
Contoh nyata lain dari kebijakan mengembargokan diri secara parsial di Indonesia adalah kebijakan B30 dan B35, yaitu kewajiban pencampuran biodiesel berbasis minyak sawit (FAME) sebesar 30% hingga 35% dalam solar yang digunakan di dalam negeri.
Kebijakan ini bertujuan mengurangi ketergantungan pada impor solar berbasis minyak fosil dan sekaligus mendorong penguatan industri energi terbarukan domestik.
Langkah ini tidak hanya menjadi strategi substitusi impor, tetapi juga sebagai bentuk “pengembargoan diri” terhadap dominasi energi fosil global, terutama minyak mentah dari negara-negara OPEC.
Walaupun menuai kritik dari sebagian negara pengimpor sawit dan kelompok lingkungan internasional karena dianggap memperluas deforestasi dan tidak ramah iklim, Indonesia tetap melanjutkan program ini sebagai bagian dari jalan menuju kedaulatan energi berbasis potensi lokal.
Negara yang sukses membangun industrialisasi adalah negara yang berani mengambil keputusan besar yang memaksa pelaku ekonomi nasional untuk menyesuaikan diri dengan agenda nasional jangka panjang. Korea Selatan dan Jepang adalah contoh sukses dari pendekatan ini.
Teknologi dan Pendidikan sebagai Medan Pertarungan
Salah satu bentuk paling nyata dari ketergantungan adalah di bidang teknologi dan pendidikan. Indonesia masih terlalu banyak mengimpor alat, software, bahkan ide.
Perguruan tinggi masih mengejar akreditasi dari lembaga asing, alih-alih membangun sistem penilaian berbasis kebutuhan nasional. Bahkan banyak tenaga ahli di lembaga riset lebih senang menjadi penyambung lidah teknologi luar ketimbang penemu teknologi sendiri.
Untuk keluar dari jebakan ini, perlu ada kebijakan yang disengaja untuk membatasi ketergantungan. Misalnya, mewajibkan 50% dari teknologi dalam pengadaan pemerintah berasal dari rekayasa lokal.
Atau mengalokasikan dana riset nasional yang tak boleh dipakai membeli lisensi dari luar, kecuali untuk transfer teknologi dengan nilai tambah tinggi. Sekali lagi, ini adalah bentuk “pengembargoan diri” demi membangun kapabilitas internal.
Politik dan Diplomasi Kemandirian
Dalam ranah politik, ketergantungan juga menjelma dalam bentuk pengaruh asing terhadap kebijakan domestik. Ketika pemerintah terlalu mendengar tekanan lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, atau investor multinasional, maka ruang kebijakan nasional semakin sempit.
Kedaulatan politik tidak lagi hanya tentang wilayah, tapi juga tentang kemampuan membuat keputusan tanpa intervensi.
Diplomasi kemandirian berarti membangun kerja sama antar-negara berdasarkan kesetaraan, bukan subordinasi. Ini memerlukan pemimpin yang berani mengambil risiko, seperti Mahathir Mohamad di Malaysia atau Erdogan di Turki.
Indonesia butuh narasi politik baru: bukan sekadar “stabilitas ekonomi”, tetapi “kedaulatan ekonomi dan teknologi” sebagai dasar kebijakan luar negeri.
Tantangan dan Resiko Mengembargokan Diri untuk Kemandirian
Mengembargokan diri secara kebijakan untuk mencapai kemandirian nasional membawa sejumlah risiko dan tantangan yang perlu diantisipasi secara serius.
Salah satu risiko utama adalah terjadinya gangguan pada rantai pasok, khususnya jika substitusi impor belum siap atau produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan baik dari segi volume, kualitas, maupun harga.
Ini dapat menimbulkan kelangkaan barang, inflasi, serta keresahan sosial jika tidak diiringi dengan komunikasi publik dan mitigasi yang tepat. Selain itu, terdapat potensi penurunan daya saing produk nasional dalam jangka pendek karena belum matangnya industri lokal, yang bisa berdampak pada ekspor, investasi, dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Tantangan lainnya datang dari sisi struktural dan mentalitas. Ketergantungan yang telah berlangsung lama telah membentuk pola pikir birokrasi dan pelaku usaha yang lebih memilih jalan pintas impor daripada membangun dari dalam.
Dibutuhkan keberanian politik, reformasi regulasi, dan insentif yang kuat untuk mengubah orientasi ekonomi menuju produksi domestik yang berkelanjutan.
Tidak kalah penting, tekanan dari negara-negara besar dan lembaga internasional yang berkepentingan mempertahankan ketergantungan Indonesia akan semakin meningkat, baik dalam bentuk tekanan diplomatik, gugatan internasional, maupun pembatasan akses pasar.
Oleh karena itu, mengembargokan diri bukan hanya soal ekonomi atau kebijakan industri, tetapi juga perjuangan ideologis, ketahanan politik, dan konsolidasi nasional yang membutuhkan kepemimpinan yang visioner dan dukungan rakyat yang solid.
Menolak Kenyamanan Instan, Memilih Kedaulatan
Pada akhirnya, Indonesia harus berani menolak kenyamanan palsu dari ketergantungan. Kemandirian bukan berarti menderita, tetapi berarti memiliki kendali atas nasib sendiri.
Ini memang menyakitkan dalam jangka pendek: harga barang mungkin naik, investasi asing mungkin melambat, riset mungkin berjalan lebih lambat. Tapi hasil jangka panjangnya adalah Indonesia yang berdiri dengan kepala tegak, tidak menjadi pelayan ekonomi global, melainkan tuan rumah di negerinya sendiri.
Kenyamanan palsu yang muncul dari kebergantungan kepada pihak luar—baik dalam bentuk impor, pinjaman luar negeri, maupun alih teknologi instan—telah menyuburkan perilaku korupsi yang masif dan menjelma menjadi budaya di berbagai lini birokrasi dan elite ekonomi Indonesia.
Ketergantungan ini menciptakan ruang-ruang gelap dalam transaksi impor barang, jasa, dan proyek infrastruktur, yang rawan disusupi permainan rente, suap, dan mark-up anggaran. Ketika bangsa tidak berjuang membangun dari dalam, melainkan memilih jalan pintas dari luar, maka akuntabilitas dan kedaulatan moral bangsa pun melemah.
Korupsi tumbuh subur karena tidak ada urgensi kolektif untuk berdikari—semangat gotong royong dan integritas digantikan oleh kolusi dan ketamakan. Dalam konteks ini, perilaku koruptif bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan pengkhianatan terhadap cita-cita kemandirian nasional.
Kemandirian dan kedaulatan dilahirkan oleh keterbatasan dan dapat dikondisikan dengan pembatasan yang disengaja dengan kebijakan sebagai pengembargoan diri dengan kebijakan. Tetapi musuhnya adalah kenyamanan palsu dengan kebergantungan ke pihak luar dengan perilaku koruptif yang menjelma menjadi budaya.
Seperti kata Bung Karno: “Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” Maka, jalan kemandirian adalah jalan yang mahal, tetapi satu-satunya jalan bagi Indonesia Merah Putih.