Ekspansi Sawit untuk Energi Korbankan Hutan dan Sembunyikan Emisi

Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung.

PERTUMBUHAN industri kebun sawit terus dilancarkan untuk memenuhi kebutuhan global bahan Oleochemical (Chemurgy) dan kini untuk energi dalam jumlah besar sebagai energi yang dinyatakan lebih “bersih”.

Dalam narasi besar transisi energi, bahan bakar fosil dinyatakan sebagai penyumbang utama emisi CO₂ yang terakumulasi di atmosfer dan memicu pemanasan global.

Dari titik ini, energi dalam bentuk biodiesel berbasis Fatty Acid Methyl Ester (FAME) yang diproduksi dari minyak sawit dipromosikan sebagai jalan keluar: bahan bakar terbarukan yang diklaim menurunkan emisi dan mendukung kenetralan karbon.

Namun, di balik narasi tersebut, terdapat rangkaian fakta fisik, kimia, dan ekologis yang tidak bisa dinegosiasikan. Permintaan minyak sawit dari sektor oleochemical seperti minyak goreng, sabun, kosmetik, surfaktan, dan produk kimia turunannya—tidak seharusnya menunjukkan lonjakan drastis.

Permintaan sektor ini relatif berimbang dengan kapasitas produksi. Justru lonjakan permintaan minyak sawit datang dari sektor energi, melalui kebijakan pencampuran biodiesel ke dalam solar fosil yang terus dinaikkan secara bertahap dan koersif.

Mandatori Biodiesel dan Ledakan Permintaan Minyak Sawit

Program biodiesel dijalankan melalui skema peningkatan kadar FAME dalam bahan bakar diesel: dari B05, B10, B15, B20, B35, menuju B50, bahkan direncanakan hingga B100. Setiap kenaikan persentase ini bukan sekadar angka administratif, melainkan tambahan kebutuhan minyak sawit dalam volume besar.

Tidak ada alternatif bahan baku dalam skala setara yang mampu menggantikan minyak sawit untuk FAME saat ini.

Akibatnya, permintaan minyak sawit—baik dalam negeri maupun luar negeri—melonjak tajam untuk keperluan bahan bakar. Pertanyaannya sederhana dan tak terhindarkan: dari mana minyak sawit itu diproduksi?

Jawabannya hanya satu, yaitu dari perkebunan sawit. Tidak ada sumber lain yang realistis secara industri. Maka, setiap kebijakan biodiesel adalah kebijakan perluasan basis bahan baku sawit, secara langsung maupun tidak langsung.

Matematika Produksi Sawit yang Tidak Bisa Disangkal

Saat ini, luas perkebunan sawit Indonesia telah mencapai 16,8 juta hektare. Dari luasan tersebut, produksi minyak sawit mentah (CPO) pada tahun 2024 sekitar 48 juta ton per tahun. Jika dikonversi ke satuan energi, jumlah ini setara dengan sekitar 910 ribu barel per hari.

Angka ini menunjukkan bahwa sawit telah menjadi “ladang minyak” baru dalam arti harfiah.

Pendukung industri sawit kerap menyatakan bahwa tanpa perluasan lahan pun, produksi masih bisa ditingkatkan melalui optimasi produktivitas.

Secara teoritis, jika produktivitas 16,8 juta hektare tersebut dioptimalkan, produksi CPO dapat mencapai 67 juta ton per tahun, atau sekitar 1,3 juta barel per hari. Secara matematis, ini berarti tambahan 19 juta ton CPO per tahun, atau kenaikan sekitar 40 persen dari produksi 2024.

Ketika Kebutuhan Biodiesel Melampaui Fungsi Awal Sawit

Masalahnya, sejak awal minyak sawit bukan dirancang sebagai bahan bakar utama, melainkan sebagai bahan pangan dan bahan baku oleochemical. Ketika biodiesel mengambil porsi yang semakin besar, terjadi pergeseran struktural fungsi sawit: dari komoditas industri kimia menjadi komoditas energi.

Permintaan biodiesel bersifat absolut karena ditentukan oleh kebijakan mandatori, bukan oleh elastisitas pasar. Ketika konsumsi solar nasional, misalnya, mencapai puluhan juta kiloliter per tahun, maka pada B35 dibutuhkan jutaan kiloliter FAME.

Pada B50 kebutuhan itu melonjak lebih jauh, dan pada B100 seluruh kebutuhan solar harus dipenuhi oleh bahan berbasis minyak nabati. Tidak ada skenario ini yang dapat dipenuhi tanpa tekanan besar terhadap pasokan sawit.

Produktivitas Ada Batas, Lahan Menjadi Target

Produktivitas biologis tanaman memiliki batas alamiah. Tidak semua kebun bisa diremajakan sekaligus, tidak semua tanah mampu menghasilkan panen optimal, dan tidak semua petani memiliki akses teknologi tinggi.

Ketika batas ini tercapai, jalan yang paling mudah bagi industri besar adalah perluasan lahan.

Fakta yang tidak bisa dibantah adalah bahwa 16,8 juta hektare kebun sawit eksisting merupakan hasil konversi lahan, sebagian besar dari kawasan berhutan. Maka, setiap dorongan produksi tambahan, terutama untuk biodiesel, secara struktural akan mendorong konversi hutan yang tersisa. Inilah korelasi langsung antara pertumbuhan industri sawit dan kehilangan hutan.

Hutan Terjarah, Bencana Membesar

Hutan bukan sekadar ruang kosong yang belum dimanfaatkan. Ia adalah sistem ekologis yang mengatur tata air, menahan erosi, menyimpan karbon, dan menjaga stabilitas iklim lokal. Ketika hutan dikonversi menjadi kebun monokultur sawit, fungsi-fungsi ini runtuh.

Akibatnya, banjir bandang, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan menjadi peristiwa berulang. Bencana ini bukan anomali, melainkan konsekuensi struktural dari hilangnya hutan.

Pertanyaan krusial yang jarang dijawab adalah: siapa yang membiayai penanggulangan bencana akibat hilangnya hutan ini? Jawabannya bukan industri sawit, melainkan negara dan masyarakat luas.

Emisi Tersembunyi dari Pupuk Urea

Lebih jauh lagi, klaim biodiesel sawit sebagai energi rendah emisi runtuh ketika kita melihat input produksi perkebunan sawit itu sendiri. Pohon sawit tidak berbuah secara alami dalam skala industri tanpa pupuk. Produksi tandan buah segar sangat bergantung pada pupuk NPK, terutama nitrogen (N) yang disuplai oleh pupuk urea.

Setiap hektare kebun sawit membutuhkan sekitar 350 kg pupuk urea per tahun. Urea memiliki rumus kimia CO(NH₂)₂ dan diproduksi dari gas alam, yaitu bahan bakar fosil. Artinya, sebelum biodiesel dibakar di mesin, emisi fosil sudah dilepaskan di hulu produksi melalui industri pupuk.

Matematika Emisi dari Pupuk Sawit

Jika 1 hektare sawit menghasilkan sekitar 4 ton CPO, maka untuk menghasilkan 4 ton CPO tersebut dibutuhkan 350 kg urea. Dengan produksi nasional 48 juta ton CPO, kebutuhan urea secara kasar dapat dihitung:

48 juta ton CPO dibagi 4 ton CPO per ha menjadi 12 juta hektare lahan sawit. Produksi CPO ini memerlukan 4,2 juta ton Urea per tahun (12 juta hektare × 350 kg urea = 4,2 juta ton urea per tahun).

Ini berarti jutaan ton urea yang berasal dari gas alam diproduksi, didistribusikan, dan diaplikasikan setiap tahun. Dalam proses aplikasinya pupuk Urea, pada dasarnya CO₂ akan dilepaskan ke atmosfer kembali di lahan karena perubahan Urea ke NH4+ dan NO3-. Ini membuktikan bahwa perkebunan sawit bukan sistem bebas emisi 100 % , melainkan sistem yang tetap bergantung pada bahan bakar fosil.

Netral Karbon yang Dipertanyakan

Dengan demikian, klaim bahwa biodiesel sawit bersifat netral karbon menjadi sangat problematis. Emisi dari deforestasi, emisi dari produksi pupuk urea, serta emisi dari perubahan tata guna lahan secara keseluruhan jauh melampaui klaim penghematan emisi dari pengurangan solar fosil.

Yang terjadi bukan penghapusan emisi, melainkan pemindahan dan penyamaran emisi. Emisi tidak lagi keluar dari cerobong kilang minyak, tetapi dari pabrik pupuk, lahan pertanian, dan kawasan hutan yang dibuka.

Pohon hutan yang digantikan oleh pohon sawit adalah pohon penyerap positif CO2. Sedangkan pohon Sawit yang memerlukan makan pupuk Urea yg dari bahan bakar Fosil secara rutin malah melepaskan CO2 dari penguraian pupuk Urea yang berasal dari Fosil. Hutan kayu tidak sama dengan hutan sawit.

Modal Besar dengan Nafsu Konversi Lahan

Dalam struktur ekonomi politik, pebisnis bermodal besar melihat lahan semata sebagai faktor produksi. Hutan dipandang sebagai “aset tidur” yang harus diaktifkan. Selama biodiesel terus dipromosikan sebagai solusi energi, tekanan terhadap lahan hutan akan terus membesar.

Regulasi negara sering kali tidak cukup kuat menghadapi logika akumulasi modal. Moratorium hutan mudah dilonggarkan, batas kawasan dapat dinegosiasikan, dan kerusakan ekologis dibiarkan menjadi biaya eksternal.

Garis Batas yang Tidak Bisa Ditawar

Karena itu, kesimpulan rasionalnya jelas: perluasan lahan sawit harus dihentikan sekarang juga. Sepertinya luas 16,8 juta hektare sudah menjadi batas akhir. Jika produksi ingin ditingkatkan, lakukan melalui efisiensi dan peremajaan, bukan melalui konversi hutan.

Lebih jauh, penghentian konversi lahan hutan harus berlaku untuk semua jenis perkebunan, tanpa pengecualian. Hutan yang tersisa adalah penyangga terakhir ekologi Indonesia. Sekali hilang, biaya sosial, ekologis, dan fiskalnya akan jauh melampaui manfaat ekonomi biodiesel.

Sudahlah, Berhenti Saja

Energi yang dinyatakan bersih tidak boleh dibangun di atas kehancuran hutan dan ilusi kenetralan karbon. Biodiesel sawit yang tumbuh dari deforestasi dan pupuk berbasis gas alam bukan solusi iklim, melainkan krisis ekologis yang disamarkan sebagai kebijakan hijau.

Sudahlah. Berhenti saja di luas lahan sawit sekarang. Hentikan konversi hutan untuk perkebunan apa pun. Jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa atas nama energi dengan klaim bersih, kita justru menghabiskan hutan, memperbesar bencana, dan mewariskan kerusakan yang tidak bisa diperbaiki.

bencana alambencana Sumatracrude palm oilperkebunan sawitpohon sawitSumatra
Comments (0)
Add Comment