Efisiensi Bikin Rakyat Susah, Tapi Pejabat Tetap Hidup Mewah

Jakarta— Tujuh bulan sudah Presiden RI Prabowo Subianto memimpin. Harapan dan janji belum sesuai dengan kenyataan.

Di tengah badai pemutusan PHK dan melemahnya berbagai sektor usaha akibat efisiensi anggaran, para pejabat tetap memeroleh fasilitas mewah.

Namun, di satu sisi biaya yang harus dikeluarkan negara untuk membiayai fasilitas para pejabat tahun 2026 seolah tak sejalan, atau bisa dikatakan mengingkari semangat efisiensi itu.

Hal ini bisa dilihat dari Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No. 32 Tahun 2025 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2026 yang disahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 20 Mei 2025.

Di dalamnya, disebutkan standar biaya pengadaan kendaraan dinas pejabat eselon I ditetapkan Rp931,648 juta per unit. Sementara pejabat eselon II di DKI Jakarta mendapatkan standar Rp731,123 juta per unit kendaraan.

Tarif biaya penginapan pejabat negara/wakil menteri/pejabat eselon I di Aceh bisa mencapai Rp 5.109.000 per malam, sedangkan di DKI Jakarta bisa mencapai Rp9.331.000 dan Bali Rp7.328.000.

Ditambah, adanya standar fasilitas lain seperti konsumsi rapat/pertemuan. Untuk rapat koordinasi/tingkat menteri/wakil menteri/eselon I/setara diberikan alokasi Rp118.000 per orang per kali makan dan kudapan Rp53.000 per orang perkali makan.

PHK dan Merosotnya Nilai Ekonomi Kurban

Borosnya biaya fasilitas para pejabat menjadi ironi di tengah melemahnya daya beli masyarakat.

Setelah jumlah pemudik idulfitri yang turun 7,6 juta orang, kini, giliran nilai ekonomi kurban yang diprediksi turun Rp1,2 triliun.

Kajian yang dilakukan Lembaga Riset Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) menunjukkan terjadinya penurunan proyeksi jumlah pekurban tahun ini dibanding 2024.

Peneliti IDEAS Tira Mutiara mengatakan, pada 2024 terdapat sekitar 2,16 juta pekurban, sedangkan tahun 2025 ini jumlahnya sekitar 1,92 juta pekurban. Artinya, ada penurunan potensi sekitar 233.000 pekurban dalam satu tahun terakhir.

“Kami juga memproyeksikan potensi nilai ekonomi kurban Indonesia tahun 2025 sebesar Rp 27,1 triliun. Proyeksi ini juga turun dari proyeksi tahun sebelumnya (2024) yang diestimasikan mencapai Rp 28,3 triliun,” ujar Tira.

Menurut IDEAS, estimasi jumlah pekurban tahun 2025 malah lebih rendah dibanding saat pandemi yang berkisar 2,11 juta pekurban pada 2021 dan 2,17 juta pekurban pada 2022.

Hal itu terjadi karena adanya penurunan masyarakat di kelas menengah bahkan kelas atas yang berpotensi menjadi pekurban tahun ini.

“Diperparah lagi oleh kurang memadainya kebijakan dari negara untuk menjaga kelas menengah dan atas tersebut. Inilah yang membedakan masa sulit tahun ini dengan masa pandemi,” terang Tira.

Menurutnya, krisis yang terjadi saat ini banyak didorong oleh kejatuhan sektor industri manufaktur. Kondisi ini memaksa perusahaan padat karya untuk mem-PHK karyawannya sepanjang 2024 hingga Mei 2025.

“Dan tingginya pengangguran di Indonesia yang terjadi berkontribusi besar menjadi faktor utama penurunan pekurban tahun 2025,” jelas Tira.

Berbeda saat pandemi yang skalanya jauh lebih besar dibanding tahun ini. Saat itu, penurunan aktivitas ekonomi terjadi merata secara global.

Namun kejatuhan kelas menengah banyak tertolong oleh tetap terjaganya sektor keuangan, stimulus ekonomi yang masif dan kenaikan harga komoditas yang sangat signifikan.

Turunnya permintaan terhadap hewan kurban menandakan ekonomi masyarakat sedang berada di kondisi yang tidak baik-baik saja.

Di satu sisi, peternakan memiliki peran strategis yang berkontribusi pada ketahanan pangan melalui penyediaan protein hewani.

Sektor ini juga menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat pedesaan dan penggerak ekonomi lokal.

Sayangnya, pelemahan ekonomi yang terjadi tidak berjalan lurus dengan upaya efisiensi yang digaungkan pemerintah.

Padahal, keuangan negara sudah tekor Rp507 Triliun di 2024 lantaran belanja pemerintah yang boros. Tercatat, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.

Defisit keuangan negara hingga akhir tahun lalu sebesar 2,29% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau setara Rp507,8 triliun. Defisit ini disebabkan oleh pertumbuhan belanja negara yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan negara. Luar Biasa! (RAL)

APBNefisiensi anggaranPrabowo SubiantoSri Mulyani
Comments (0)
Add Comment