Jakarta – Penggelapan uang setoran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) warga desa oleh aparat desa seringkali terjadi. Maklum, tingkat literasi masyarakat relatif rendah sehingga menjadi kebiasaan warga desa menyetor tagihan PBB ke petugas desa, seperti dilakukan masyarakat Desa Gandu, Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang.
Kondisi ini pun seperti dimanfaatkan oleh oknum aparat desa untuk mendatangi rumah warga untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPP) PBB sekaligus meminta pembayarannya. Tapi pembayaran PBB warga desa tersebut tidak disetorkan ke Badan Pengelola Pendapatan Daerah Kabupaten Pemalang.
Sementara, karena sudah memberikan uang sesuai nilai yang tercantum dalam tagihan SPPT, warga pun merasa sudah menjalankan kewajibannya sebagai warga pembayar pajak. Namun, begitu dicek baik melalui aplikasi maupun situs resmi pemerintah kabupaten, ternyata mereka sudah menunggak selama bertahun-tahun.
Contohnya, Joko Widiasmoro yang setiap tahun membayarkan tagihan PBB kepada perangkat desa. “Begitu ada tagihan dari desa (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang PBB), langsung saya bayar kepada pejabat desa yang datang,” ujar pria yang setiap tahun membayar PBB sekitar Rp219.000 tanpa mendapatkan kwitansi atau bukti pembayaran sama sekali dari petugas desa. Begitu nomor obyek pajak (NOP) dicek melalui aplikasi cek PBB online, ternyata juga terjadi tunggakan sejak tahun 2013.
Warga lain pun demikian. Setiap tahun Sugeng Raharjo membayar tagihan PBB sebesar Rp125.000 kepada perangkat desa. Setelah dicek di aplikasi, ternyata menunggak sejak tahun 2013. Baik Sugeng maupun Joko menduga banyak warga lain di desanya yang bernasib sama dan berharap kepala desa bertanggung jawab kalau ada tindakan aparatnya yang tidak baik.
“Saya sudah cek ke beberapa warga, juga ternyata menunggak padahal setiap tahun dimintai pembayaran oleh petugas desa,” ujar Sugeng.
Karena banyak warga yang memberikan uang namun tidak dibayarkan ke Bapenda, diperkirakan jumlah uang yang disalahgunakan mencapai lebih Rp100 juta setiap tahunnya. Asumsinya ada lebih dari 700 NOP dan nilai tagihan bervariasi dari Rp50.000 hingga ada yang di atas Rp200.000.
Ketika dimintai klarifikasi soal itu, Kepala Desan Gandu, Solikhin, mengatakan akan segera menindaklanjuti kejadian tersebut.
“Masing-masing warga bisa sampaikan siapa petugas yang datang dan minta ke warga, dan kami akan cross cek ke petugasnya, dan saya juga akan segera mengumpulkan semua petugas,” ujarnya kepada The Asian Post, 22 Mei 2023.
Karyudi Sutajah Putra, pengamat sosial dan politik dari Konsultan dan Survei Indonesia yang berasal dari Pemalang, mengatakan para kepala daerah tingkat dua harus mendidik para kepala desa bersama aparatnya agar bisa melayani warganya dengan baik dan mematuhi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016 tentang Desa.
“Kepala desa dan perangkatnya mestinya mengedukasi dan menghimbau warganya untuk menyetor PBB lewat bank atau kantor pos, bukan tidak tahu apalagi merestui bawahannya untuk menagih setoran warga tapi tidak disetorkan ke badan keuangan daerah. Melakukan pungutan warga dan uangnya disalahgunakan, ini bisa melanggar pasal 29 dan 51 dalam UU Desa,” ujarnya kepada The Asian Post, 22 Mei 2023.
Mantan staf ahli DPR-RI ini juga mendesak agar dana desa yang sebesar Rp1 miliar per desa diaudit untuk mengetahui penggunaan dan pertanggung jawabannya. “Saya sering mendengar adanya pungutan seperti pologoro di desa dengan alasan untuk kas desa, padahal negara sudah memberikan dana desa Rp1 miliar setiap tahun. Sangat mungkin dana desa juga disalahkan gunakan, sehingga harus diaudit,” pungkasnya. (Red)