Duh, Agen Wisata Tak Kebagian Dana Hibah Rp3,30 Triliun

Jakarta – Agen dan operator perjalanan wisata lagi kesel. Mereka merasa “dianak-tirikan” oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Pasalnya, mereka tidak kebagian dana hibah wisata. Sepeser pun. Padahal, total dana hibah mencapai Rp3,30 triliun. Duh!

Adalah Indonesia Inbound Tour Operators Association (IINTOA) yang mewakili keluh-kesah para agen dan operator perjalanan wisata di Indonesia. “Kita sama-sama terpukul dampak pandemi Covid-19, sama seperti hotel dan restoran. Tapi kenapa kami ndak dapat dana hibah,” keluh Paul Edmundus, Ketua IINTOA, kepada The Asian Post, kemarin.

Paul dan kawan-kawan di komunitas agen dan operator perjalanan wisata merasa sebagai garda terdepan dalam bisnis pariwisata. Merekalah yang membawa tamu-tamu ke hotel dan restoran di destinasi wisata. Makanya, mereka merasa berhak juga mendapat stimulus dalam menghadapi masa sulit dampak pandemi Covid-19.

Tak mau tinggal diam. Paul dan kawan-kawan langsung mengadu ke Komisi X DPR RI untuk meminta arahan. Secara khusus juga bertemu Rano Karno, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP. Tapi belum ada titik terang.

Mereka lantas mendatangi Kemenparekraf. Mengadu ke Hengky Manurung, Staf Ahli Menteri Bidang Manajemen Krisis Kemenparekraf. Juga ke Fadjar Hutomo, Deputi Bidang Industri dan Investasi Kemenparekraf. Namun, sampai sekarang belum ada hasil.

Paul dan kawan-kawan hanya bisa menelan ludah saat hotel-hotel mewah dan restoran-restoran besar mulai menerima dana hibah tahap pertama sebesar Rp1,10 triliun pada Oktober lalu. “The Mulia Hotel Bali, misalnya, dapat hingga Rp28 miliar,” ungkapnya.

Paul sadar dan tahu betul kalau dirinya dan kawan-kawan seprofesi kebentur kebijakan Kemenparekraf terkait dana hibah itu. Sesuai Keputusan Menparekraf, dana hibah dari kas negara itu hanya diperuntukan bagi hotel dan resto, serta pemda. Pembagiannya: hotel dan resto 70%, pemda 30%.

Menurut Wishnutama, Menteri Parekraf, penerima hibah sudah diseleksi sesuai empat kriteria. Satu, wilayah penerima harus setidaknya memiliki 15% porsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) 2019 dari penerimaan Pajak Hotel dan Pajak Restoran (PHPR). Dua, wilayahnya masuk dalam 10 destinasi super prioritas. Ketiga, memiliki destinasi branding. Dan keempat, masuk daftar seratus acara tahunan pariwisata.

“Kita kebentur PHPR karena bukan pembayar pajak hotel dan restoran. Jadi, hanya yang membayar pajak hotel dan restoran yang dapat. Makin besar bayar pajak, makin besar dapat dana hibahnya,” urai Paul.

Tak heran jika The Mulia Hotel milik Djoko Tjandra itu mendapat dana hibah hingga Rp28 miliar. Sebagai hotel bintang lima terbaik nomor tujuh di dunia dengan tarif Rp7,5 juta hingga Rp45 juta per malam, tentu bayar pajaknya besar pula, dan lancar.

“Padahal, hotel dan restoran membayar pajak dari uang wisatawan yang kita bawa  ke mereka. Artinya, ada kontribusi kita juga dalam pembayaran pajak itu,” ujarnya.

Paul dan kawan-kawan berharap ada kebijaksanaan dari para petinggi di negeri ini, khususnya Kemenparekraf, Kemenkeu, dan Kemendagri. Kalau pun dana hibah itu tak memungkinkan, mereka berharap pemerintah bisa membantu mereka untuk mendapatkan pinjaman lunak.

“Pinjaman sangat lunak, dengan bunga sangat rendah,” harapnya.

Seberapa rendah? Tujuh persen?

“Masih berat,” katanya.

Kalau enam persen?

“Masih berat juga. Yah, dua sampai maksimal tiga persenlah, dan tanpa agunan,” harapnya.

The Asian Post menghubungi Fadjar Hutomo untuk mengetahui duduk perkara masalah ini. Dia mengakui kalau kawan-kawan dari IINTOA memang mendatanginya terkait masalah itu. Dia juga sudah menjelaskan kebijakan terkait hal itu.

“Program hibah pariwisata melalui mekanisme transfer daerah ini merupakan bagian dari program PEN Sektoral KL dan Pemda, di mana KPA-nya adalah Ditjen Perimbangan Keuangan Direktorat Transfer Daerah, Kemenkeu, dan Kemenparekraf selaku executing agency,” jelas Fadjar Hutomo kepada The Asian Post, kemarin.

Awalnya, anggaran program ini, kata Fadjar, adalah anggaran program hibah daerah berdasarkan PHPR yang sedianya dilaksanakan pada Februari – Maret 2020. Namun, ditunda pelaksanaannya oleh Kemenkeu karena pandemi.

“Akhir Juli 2020 Kemenkeu membuka pembahasan untuk dilakukan reprogramming atas program tersebut. Setelah melalui pembahasan intensif antara Tim DJPK Kemenkeu, Kemenparekraf, dan Kemendagri, akhirnya melahirkan skema hibah pariwisata melalui mekanisme transfer daerah,” paparnya.

Penggunaan data PHPR, lanjut dia, merupakan opsi yang obyektif untuk menyakinkan akuntabilitas dan transparansi dari program hibah pariwisata.

“Kami sadar, program ini belum menjangkau seluruh daerah dan stakeholder pariwisata yang ada di Indonesia. Kami terbuka dan tetap menerima masukan usulan program-program berikutnya untuk menjangkau daerah dan stakeholder yang lebih luas, berdasarkan data-data obyektif yang bisa digunakan, untuk kami diskusikan dengan Kemenkeu dan Kemendagri,” lanjut Fadjar.

Fadjar sangat memahami keluh-kesah Paul dan kawan-kawan. Dia juga sangat mengerti dengan analogi yang disampaikan mereka. “Pariwisata itu ekosistem, semua saling terkait,” ujarnya, sambil diskusi kemungkinan jika SPT PPH sebagai dasar, sekaligus untuk meningkatkan kepatuhan pajak.

The Asian Post  juga mencoba menghubungi DPR RI. Karena, dari sinilah semua regulasi dan kebijakan di negeri ini bisa direvisi. Namun, hingga tiga hari ditunggu-tunggu, Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda tidak merespon. Pesan via WA hanya dibaca, tapi tidak dijawab. Mungkin anggota Fraksi PKB itu sedang sibuk. Atau sedang kunker ke dapilnya di Jabar VII.

Ndak apa-apa. Asal jangan alasan sedang WFH.

Sabar ya, Pak Paul.

(Darto Wiryosukarto)

Comments (0)
Add Comment