Jakarta— Komisi VI DPR menyoroti masih rendahnya serapan tenaga kerja dalam negeri yang terlibat dalam proyek-proyek investasi sepanjang 2022. Padahal, nilai realisasi investasi yang dilaporkan pada tahun lalu sudah sangat tinggi menembus Rp1.207 triliun.
Anggota Komisi VI DPR Deddy Yevri Hanteru Sitorus mengatakan, jika dihitung berdasarkan jumlah proyek dan tenaga kerja yang masuk, maka realisasi investasi secara rerata hanya mampu menyerap lima tenaga kerja pada setiap proyek.
“Ini hitungan orang awam. Sepanjang Januari-Desember 2022 investasi menyerap TKI 1,3 juta orang dari 260.955 proyek. Artinya setiap proyek menyerap lima orang tenaga kerja. Benar tidak cara menghitungnya? Ternyata tidak terlalu banyak juga,” katanya kepada Menteri Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dalam acra Raker dengan Menteri Investasi/Kepala BKPM, Senin (6/2/2023).
Dia meminta agar pemerintah perlu memilih sektor-sektor potensial yang menyumbang tenaga kerja yang lebih besar agar sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Terlebih, di tahun-tahun selanjutnya Indonesia akan mengalami bonus demografi di mana akan membuat lebih banyak masyarakat membutuhkan lapangan kerja.
Politisi dari Fraksi PDI Perjuangan ini juga menyoroti banyaknya proyek di daerah yang tidak memberikan kesejahteraan bagi pengusaha dan masyarakat lokal. Deddy mencotohkan pembangunan infrastruktur yang ada di Kalimantan Utara.
“Saya kasihan melihat teman-teman di sana. Banyak kontraktor yang dipakai di sana tapi diperas sedemikian rupa untuk bekerja Pak. Jadi habis kerja di sana enggak jadi kaya juga Pak. Harusnya kan dipatok, kalau kerja katakankah kerja infrastruktur ada margin yang diperbolehkan. Saya dengar banyak kontraktornya yang dibawa dari luar, jadi yang kerja itu ya terpaksa saja kerja. Ini kan kasihan,” tukasnya.
Di samping itu, Deddy juga mengkritik langkah pemerintah maupun swasta yang selama ini hanya menawarkan ganti rugi atas nilai lahan dan bangunan kepada masyarakat. Dia menilai, cara seperti itu justru membuat ekonomi masyarakat jadi menurun.
“Mereka yang tadinya berkebun itu jangan dipikirin ganti tanahnya. Tapi Ketika mereka pindah kehidupan mereka jangan jadi menurun dong karena uang ganti rugi itu enggak mungkin beli tanah dan kebun sawit seluas yang mereka dapat sebelumnya. Ini soal kemanusaian dan redistribusi keadilan yang kita pikirkan. Buat apa kita punya mega project more than US$20 billion tetapi masyarakat lagi-lagi terpinggirkan menjadi penonton,” pungkasnya. (*)
Writer: Ranu Arasyki