Jakarta— Komisi VII DPR melontarkan kritik tajam terkait mitigasi risiko yang dijalankan PT Pertamina (Persero) pasca kebakaran Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Plumpang, Jakarta Utara yang merenggut puluhan korban jiwa.
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mempertanyakan audit komprehensif yang telah dilakukan komite risiko di perusahaan pelat merah tersebut. Menurutnya, komite risiko seharusnya menyusun peta risiko sehingga ada langkah mitigasi dan agenda perawatan secara masif untuk setiap depo Pertamina.
“Ini kan seperti minum obat ya kecelakaan. Hari ini yang terbesar, ini besar sekali. Pertanyaan saya, audit komprehensifnya kapan dijalankan oleh komite sehingga bisa dipetakan oleh komite resikonya. Lah, komite risikonya kerja atau tidur ini?,” tegasnya dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII dengan Dirut Pertamina, di Jakarta, Kamis (16/3/2023).
Anggota DPR dari fraksi PKS ini mendesak Pertamina segera membentuk lahan penyangga atau buffer zone antara kawasan depo dengan pemukiman penduduk.
Kata dia, selama ini masih banyak depo Pertamina yang tidak memiliki buffer zone, sehingga berdekatan dengan pemukiman masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan.
“Kami mengusulkan buffer zone. Saya rasa enggak ada pilihan. Ini yang harus dilaksakan. Tadi kan kurang lebih 100 meter sepanjang 3 kilometer. Kurang lebih akan mengenai 1.225 rumah, itu tadi catatannya. Nah, ini adalah bagian untuk melindungi keselamatan masyarakat dan juga keselamatan instalasi pemerintah,” ujarnya.
Mulyanto menyebut, keberadaan buffer zone menjadi bagian yang sangat vital, bukan hanya untuk depo Pertamina, tetapi kawasan industri lainnya seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Di beberapa lokasi, lanjutnya, kawasan PLTP tidak memiliki buffer zone.
“Saya lihat termasuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Sorik Marapi [Mandailing Natal], Patuha [Ciwidey] sudah mepet batasnya itu. Buffer zone-nya enggak ada itu. Ini berbahaya kalau kita bekerja dengan cara-cara seperti ini. Kalau kita lihat di luar negeri mungkin kita iri ya karena buffer zone-nya indah, hijau, parit, dan sebagainya,” terang Mulyanto.
Berangkat dari deretan kasus kebakaran serupa, dia mewanti Pertamina tidak hanya mementingkan profitabilitas, melainkan memperhatikan prinsip tata kelola Environmental, Social, and Governance (ESG), yang harus dijalankan perusahaan, terutama BUMN.
“Jangan Pertamina dikejar profit dan dividen. Tapi agar dialokasikan secara cukup anggaran untuk perawatan, anggaran untuk keamanan masyarakat. Ini pimpinan sangat penting menurut saya. Kami terus terang mendesak kepada pemerintah betul-betul menjadikan kasus di Plumpang ini pelajaran yang penting, dan kami tidak ingin terjadi kasus serupa di masa depan,” sambungnya.
Di dalam rapat tersebut, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati Nicke berjanji akan membentuk buffer zone di kilang minyak Pertamina secara bertahap. Saat ini, kata dia, terdapat sembilan TBBM yang tidak memiliki zona penyangga yang akan dibangun oleh Pertamina.
“Yang urgent sekarang adalah buffer zone karena operasi ini akan terus berjalan di Plumpang. Karena Demikian strategisnya maka yang paling ujian hari ini adalah membangun buffer zone di sekitar tembok yang ini,” beber Nicke.
Sebelumnya, kata Nicke, Pertamina sudah berencana membangun zona penyangga seluas 100 meter di Depo Pertamina Plumpang pada 2009. Namun rencana itu tak kunjung terealisasi.
“Tapi kali ini, karena ini sebenarnya bom waktu saja karena anytime bisa terjadi. Ini high risk dan begitu dekatnya warga jadi buffer zone menjadi suatu hal yang harus dilakukan segera untuk keamanan dan safety masyarakat dan juga untuk keamanan operasional sehingga TBBM ini tidak ada kendala,” pungkas Nicke. (*) RAL