Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Institute Teknologi Bandung
Ketika kekuasaan mulai retak dan pengaruh politik mengendur, mulailah satu per satu kisah kelam rezim terungkap. Apa yang sebelumnya tertutup rapat oleh loyalitas, ketakutan, dan kepentingan, mulai mengemuka sebagai rangkaian pengakuan, bocoran, dan pembongkaran.
Di sinilah ironi politik terkuak: banyak kebenaran terungkap bukan karena keberanian, melainkan karena kehilangan kuasa.
Fenomena ini bukan baru. Ia berulang dalam sejarah. Ketika penguasa kuat, hukum cenderung diam. Ketika penguasa melemah, hukum seperti diberi izin untuk bicara. Di titik inilah kita melihat betapa lenturnya penegakan hukum di negeri ini—bukan berdasarkan prinsip keadilan, tapi berdasarkan posisi kekuasaan.
Saat Keadilan Menunggu Momentum
Di tengah sistem demokrasi yang prosedural, hukum seharusnya menjadi penjaga jarak antara kekuasaan dan penyalahgunaan. Namun dalam praktiknya, hukum sering kali menjadi subordinat dari logika politik. Ia bisa digunakan untuk membungkam lawan, melindungi kawan, atau sekadar menunda keadilan sampai waktu berpihak.
Betapa banyak kasus korupsi yang baru disidik serius ketika pelakunya tak lagi duduk di lingkar kekuasaan. Kita melihat bagaimana penyelidikan terhadap penyalahgunaan anggaran, konflik kepentingan proyek, hingga kasus gratifikasi kerap menemukan momentumnya justru saat sang pejabat telah tergeser dari posisi strategis.
Apakah keadilan harus menunggu kekuasaan pudar? Bila demikian, hukum kehilangan makna sebagai pelindung warga dan bergeser menjadi alat tawar-menawar politik.
Politik Transaksional dan Dosa yang Mengendap
Demokrasi Indonesia masih banyak bertumpu pada kekuatan transaksional. Politik bukan lagi tentang gagasan dan integritas, melainkan tentang seberapa besar akses terhadap sumber daya, proyek, dan jabatan.
Dalam kondisi seperti ini, pelanggaran hukum dan etika kerap mengendap diam di balik layar. Mereka tidak menghilang, hanya ditangguhkan.
Begitu kekuasaan berubah, “tabungan dosa” itu dikeluarkan satu per satu. Bisa lewat investigasi jurnalistik, bisa lewat kesaksian orang dalam yang kecewa, atau lewat bocoran dokumen yang dulu dilindungi sistem.
Dan publik pun dikejutkan kembali: bahwa banyak yang selama ini diam, ternyata tahu banyak.
Pembongkaran seperti ini bisa saja menyingkirkan orang-orang yang sudah berdosa politik atau berdosa siasat atau berdosa bertuan kepada yang lain. Sistem tidak terbaiki dan mungkin sistem menjadi kondisi turbulen.
Perlawanan bisa terjadi. Ini bisa sebagai alat politik membersihkan yang berdosa politik. Tetap saja, masyarakat tidak akan teruntungkan dalam kondisi turbulen politik.
Loyalitas berpindah
Dalam budaya politik yang tidak sehat, loyalitas lebih dipandang sebagai alat kontrol daripada sebagai nilai. Selama seseorang berada di dalam orbit kekuasaan, kesetiaan dijaga dengan imbalan jabatan, akses, dan perlindungan. Namun ketika pengaruh memudar, loyalitas mudah berubah menjadi kebencian, bahkan pengkhianatan.
Beberapa pembocor informasi penting justru berasal dari mereka yang dulu bagian dari sistem. Mantan menteri yang tiba-tiba mengungkap kebijakan bermasalah, pejabat yang membongkar praktik rente di kementerian, atau politisi senior yang mulai menulis buku penuh pengakuan.
Tapi publik pun berhak bertanya: kenapa semua itu tidak diungkap ketika mereka masih punya kuasa untuk menghentikannya?
Dalam banyak kasus, pengakuan datang bukan karena dorongan moral, tetapi karena kekuasaan telah berpindah. Dan ketika moralitas hanya muncul setelah kekuasaan hilang, ia menjadi rapuh dan sulit dipercaya.
Bisa juga loyalis-loyalis tidak berpindah. Loyalis ini tetap bertuan ke tuan yang lama. Tinggal tunggu waktu, apa tuan yang baru akan mengenali duri-duri loyalis ini.
Refleksi Demokrasi yang Belum Dewasa
Bahwa banyak pelanggaran hanya terungkap ketika pelakunya tidak lagi punya kuasa adalah pertanda demokrasi kita belum cukup dewasa.
Dalam sistem demokrasi yang matang, mekanisme kontrol berjalan tanpa harus menunggu momentum politik. Parlemen bekerja mengawasi eksekutif secara kritis, media bebas menelusuri skandal tanpa intimidasi, dan lembaga hukum bergerak tanpa menunggu izin kekuasaan.
Namun di negeri ini, terlalu sering kita melihat kebenaran baru muncul ketika jaring pengaman politik tidak lagi tersedia. Ini bukan pertanda kemenangan keadilan, melainkan kegagalan sistemik dalam mendeteksi dan mencegah korupsi sejak dini. Dalam bahasa sederhana: kita baru berani marah setelah semuanya terjadi.
Apa yang Harus Dibangun ?
Pertama, kita perlu memperkuat keberanian hukum untuk bertindak tanpa menunggu situasi politik berubah. Reformasi institusi penegak hukum harus diarahkan untuk membangun independensi, bukan justru menjadikannya lebih mudah dikendalikan.
Penunjukan pejabat hukum strategis harus bebas dari konflik kepentingan politik.
Kedua, kita butuh sistem perlindungan pelapor yang kuat. Banyak pejabat jujur memilih diam karena takut disingkirkan atau dibunuh kariernya. Negara harus menjamin keamanan bagi mereka yang berani melawan arus, bukan malah membiarkan mereka dikorbankan oleh sistem.
Ketiga, transparansi harus menjadi norma, bukan pengecualian. Anggaran pemerintah, proses pengadaan, hingga pembahasan kebijakan publik harus dapat diawasi masyarakat secara luas. Publik yang terinformasi adalah benteng pertama melawan korupsi.
Membongkar dan Menumbuhkan Budaya Bertanggung Jawab
Mengungkap dosa masa lalu penting. Ini juga harus diiringi dengan membangun sistem yang mencegahnya terulang. Kita harus keluar dari siklus “membongkar setelah bubar”, dan masuk ke fase baru: “bertanggung jawab saat masih berkuasa”.
Kita tidak boleh terus-menerus menjadi bangsa yang hanya bisa mengecam masa lalu setelah semuanya telanjur rusak. Kebenaran harus diungkap bukan karena kekuasaan telah tiada, melainkan karena ada kewajiban moral untuk menjunjung integritas sejak awal.
Yang dibutuhkan Indonesia bukan lebih banyak pengakuan di akhir masa jabatan, tetapi lebih banyak tindakan benar selama masa jabatan berlangsung.
Keberanian dalam Kekuasaan
Menjadi pemimpin itu soal keberanian—bukan hanya keberanian untuk tampil, tapi juga keberanian untuk menolak godaan sistem. Keberanian untuk berkata tidak pada proyek bermasalah, untuk memilih transparansi saat godaan manipulasi datang, dan untuk melindungi kebenaran meski berisiko.
Kita harus mulai mengukur kepemimpinan bukan dari seberapa cemerlang citranya, tapi seberapa besar keberaniannya menjaga etika saat memegang kekuasaan.
Sebab hanya dengan cara itu, kita bisa berharap bahwa ketika kuasa berganti, tidak ada lagi dosa yang harus dibongkar—karena tidak ada yang disembunyikan sejak awal.