Dirgahayu 79 RI: Duh, Ribuan Triliun Terbang ke Singapura, Diduga dari Judi Online dan Tax Evasion

Oleh Karnoto Mohamad, Pemimpin Redaksi The Asian Post

REPUBLIK Indonesia baru saja merayakan hari ulang tahun (HUT) ke-79 pada Sabtu, 17 Agustus 2024. Meskipun sudah 79 tahun Indonesia terbebas dari penjajahan Belanda dan Jepang, Indonesia sesungguhnya belum terbebas dari kemiskinan, kebodohan, dan korupsi.

Bahkan, karena korupsi dan kolusi yang tinggi di kalangan oknum pejabat, pengusaha, dan pemburu rente, sumber penerimaan negara baik dari pajak maupun sumber daya alam (SDA) tidak menetes ke rakyat bawah.

Setiap tahun ada uang ribuan triliun rupiah yang terbang dari Indonesia ke luar negeri. Menurut data Pusat Pelaporan dan Transaksi Keuangan (PPATK) tercatat dana sebesar Rp3.536,22 triliun asal Indonesia terbang ke Singapura selama semester 1 tahun 2024.

Angka tersebut lebih besar dari uang yang terbang ke Amerika Serikat dan China yang masing-masing sebanyak Rp781,8 triliun dan China sebesar Rp466,1 triliun.

Selain ketiga negara tersebut, triliunan uang asal Indonesia juga mengalir ke Hong Kong, Inggris, Jepang, hingga Korea Selatan.

Besarnya uang yang terbang ke Singapura tidak mengagetkan. Singapura sudah lama dikenal sebagai salah satu negara tujuan dana dari Indonesia. Baik uang halal (legal) maupun haram (illegal).

Uang halal misalnya berasal dari repatriasi deviden karena Singapura adalah investor terbesar di Indonesia hingga mencapai US$15,4 miliar pada 2023, baru diikuti China US$7,4 miliar, Hongkong US$6,5 miliar, Jepang US$4,6 miliar, dan Malaysia US$4,1 miliar.

Sedangkan uang haram berasal dari uang yang diperoleh, ditransfer, maupun digunakan secara illegal melintasi batas teritori negara (illicit financial flows). Misalnya uang hasil judi online seperti yang belum lama ini terkuak dan melibatkan 16 bank di Singapura seperti OCBC, DBS, Citigroup, ICBC, Bank of Singapore hingga Credit Suisse.

Aliran uang gelap juga berasal dari transaksi narkotika dan misinvoicing dari kegiatan ekspor import, terutama komoditas seperti batubara dan minyak sawit.

The Asian Post Research mencatat, pada 2023 Indonesia memiliki volume ekspor batubara sebesar 379,70 juta ton dengan nilai yang dicatat oleh pemerintah sebesar US$34,59 miliar. Secara statistik, harga yang tercatat sebesar US$59 per ton.

Padahal, rata-rata harga batubara di pasar internasional sebesar US$172 per ton. Jika menggunakan rata-rata harga pasar internasional tersebut, maka nilai ekspor batubara tersebut ditaksir bisa mencapai US$65,32 miliar. Ada selisih sebesar US$42,92 miliar.

Di sini terjadi indikasi under-invoicing ekspor dimana nilai ekspor yang tercatat di Indonesia lebih kecil dari realisasi impor barang di negara tujuan ekspor. Indikasi terjadi under-invoicing juga terjadi di tahun-tahun sebelumnya.

Jika dijumlah dari selisih nilai ekspor batubara secara statistik dengan harga yang berlaku di pasar global selama 10 tahun dari 2014-2023 atau selama masa pemerintahan Joko Widodo, akumulasinya mencapai US$323,89 miliar, atau sekitar Rp4.858,42 triliun. Dengan asumsi PPH 1,5% dan royalti 5%, maka penerimaan negara yang hilang sebesar Rp315,79 triliun.

Itu baru batubara, belum komoditas lain seperti minyak sawit, tembaga, karet olahan, kopi, dan lain-lain. Dan selain praktek underinvocing untuk komoditas ekspor, disinyalir banyak praktek overinvocing untuk barang-barang impor seperti bahan bakar minyak hingga barang modal seperti mesin. Makanya tidak heran ribuan triliun uang dari Indonesia terbang ke luar negeri ke Singapura dan membuat devisa negara tersebut makin membesar.

Cadangan devisa Singapore saat ini mencapai US$370 miliar, sementara Indonesia yang punya sumber daya alam begitu besar hanya US$137 miliar. Mengapa bisa demikian? Karena keuntungan perusahaan-perusahaan ekspor dan impor Indonesia dinikmati anak perusahaan mereka di Singapore yang pajaknya 0%!

Pemerintah Singapore aktif memfasilitasi kegiatan penghindaran pajak ini.
Padahal, transfer pricing adalah upaya penghindaran pajak atau tax evasion yang merupakan suatu transaksi money laundering ke negara lain dan dibawah International Anti-Money Laundering Act ini adalah suatu pelanggaran hukum.

Presiden terpilih Prabowo Subianto perlu mengeluarkan Peraturan melalui Menteri Keuangan yang mewajibkan semua perusahaan yang berpeluang melakukan transfer pricing masuk dalam audit tahunan mereka yang dilakukan oleh external auditor mereka untuk mendapat predikat wajar tanpa pengecualian (WTP).

Jika transfer pricing dari over-invoicing import dan underinvoicing dari exports para pengusaha Indonesia dikurangi melalui sekedar surat dari Menteri Keuangan untuk diaudit dalam memenuhi WTP, maka Indonesia memiliki sumber penerimaan yang besar dan twin deficit di fiskal dan transaksi berjalan bisa diatasi, bahkan bisa menjadi surplus setiap tahunnya dan Bank Indonesia juga akan tersenyum karena cadangan devisa akan naik besar.

Kalau transfer pricing atau penghindaran pajak (tax evasion) dan penanganan korupsi aparat di atas tidak ditangani, maka negara Indonesia akan terus kesulitan keuangan dan terus menambah utang.

Apalagi, pemerintahan mendatang di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto memiliki rencana pembangunan yang ekspansif seperti melanjutkan ibu kota nusantara maupun bantuan sosial. Pemerintahan mendatang harus memperbaiki sistem dan memperkuat proses agar tidak disalahgunakan untuk manipulasi korupsi oleh para oknum pejabat dan pengusaha.

Karena dalam pelaksanaannya menyangkut manusia, maka sangat perlu dilaksanakan sistem pengawasan perilaku manusia dari sistem tersebut, terutama para Aparatur Sipil Negara (ASN) dimulai dari Judikatif, Legislatif dan Eksekutif. Sistem pencegahan korupsi bisa dimulai dengan yang sudah ada yaitu Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Bagaimana itu bisa dilaksanakan secara transparan karena tidak semua anggota Judikatif, Legislatif dan Eksekutif mengisi LHKPN.

Selama ini tidak ada sanksi hukum serta belum ada undang-undang (UU) pembuktikan terbalik jika ditemukan anomali dari pengisian LHKPN. Apabila terdapat anomali pengisian LHKPN ini tidak dapat dibuktikan kewajarannya, maka harta tersebut seharusnya diserahkan kepada atau disita negara.

Sayangnya, sampai saat ini UU Perampasan Aset belum disahkan, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampak semakin lemah. (*)

HUT RI ke-79judi onlineKKNkorupsipencucian uangtax evasiontppu
Comments (0)
Add Comment