Saat ini, katanya, lebih dari 150 juta dari 260 juta penduduk Indonesia tinggal di daerah rawan gempa, 60 juta tinggal di daerah rawan banjir, 40 juta di daerah rawan longsor, 4 juta di daerah rawan ancaman tsunami, dan 1, 1 juta adalah daerah yang rentan terhadap letusan gunung berapi.
“Pengalaman kami dalam menangani fakta-fakta dan angka-angka itu telah membuat kami lebih tangguh dan lebih responsif dalam menghadapi bencana alam,” kata pria yang gemar menanam berbagai pohon ini.
Doni menekankan, tujuan rekonstruksi dan rehabilitasi adalah untuk menghadirkan kehidupan dan membangun komunitas yang lebih baik pasca bencana.
Mantan Komandan Pasukan Keamanan Presiden ini mengatakan, keterlibatan pihak-pihak “penggerak” lainnya dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan proses pembangunan kembali pascabencana sangat penting.
Pendekatan alami untuk memitigasi dan mengelola dampak bencana sering kali berakhir dengan kegagalan, sampai kemudian para “penggerak” ini berkoordinasi dan bekerja sama secara bersama-sama.
“Mereka termasuk pemerintah daerah, masyarakat setempat, pakar/akademisi, media, dan sektor swasta,” katanya.
Doni menjelaskan, pendekatan ini disebut dengan Pentahelix. Untuk tujuan ini, prioritas yang dilakukan adalah penggunaan konteks lokal, kearifan lokal, sumber daya lokal, dan pemberdayaan perempuan, anak-anak serta orang-orang penyandang cacat dalam pelaksanaan rekonstruksi dan rehabilitasi.
“Dan semua ini adalah cerminan dari semangat gotong-royong dari dasar negara Indonesia, yakni Pancasila,” tegas mantan Sekjen Dewan Ketahanan Nasional ini.
Sejak 26 April 2017, setiap 26 April ditetapkan sebagai Hari Kesiapsiagaan Bencana. Pada momen tersebut diadakan simulasi di seluruh negeri untuk mempersiapkan orang menghadapi berbagai jenis ancaman bencana seperti tsunami, gempa bumi dan topan.
Mengenai perspektif manajemen bencana berbasis ekosistem, Indonesia telah mengkampanyekan pentingnya penanaman kembali pohon di semua area yang memiliki potensi tsunami, untuk membangun lingkungan dan komunitas yang lebih tangguh, dan generasi masa depan yang jauh lebih aman.
Berdasarkan penelitian terbukti, membangun hutan pantai sepanjang 200 meter dapat mengurangi kekuatan gelombang tsunami hingga 80 persen.
Oleh karena itu, mitigasi melalui vegetasi adalah salah satu jawaban terbaik untuk menyelamatkan generasi masa depan.
Dalam upaya penanggulangan bencana berbasis lingkungan, pohon sebagai infrastruktur alami yang berharga adalah jawaban nyata untuk mencegah korban bencana lebih lanjut. []