Oleh Agus Somamihardja, Alumnus Asian Institute of Technology (AIT) Thailand dan Institut Pertanian Bogor (IPB).
SELAMA berabad-abad, dunia berpikir telah mewarisi satu warisan besar dari filsuf Prancis, René Descartes: “Cogito ergo sum”. Aku berpikir maka aku ada. Dalam pernyataan ini, akal menjadi pusat keberadaan manusia.
Namun, dalam praktiknya, warisan ini melahirkan pemisahan tajam antara akal dan rasa. Rasionalitas dianggap luhur, sedangkan emosi sering dianggap pengganggu.
Kita pun tumbuh dalam budaya yang menghargai pikiran dingin, logika ketat, dan keputusan yang “obyektif”, seolah-olah rasa adalah kelemahan.
Namun, sains modern, terutama melalui riset neurosains, membantah mitos itu. Antonio Damasio, dalam karya monumentalnya Descartes’ Error (1994), membuktikan bahwa emosi bukanlah pengganggu rasionalitas, tetapi justru fondasinya.
Damasio meneliti pasien-pasien dengan kerusakan pada bagian otak yang mengatur emosi, seperti amygdala dan ventromedial prefrontal cortex. Mereka tetap mampu berpikir logis, namun tak mampu mengambil keputusan. Mereka kehilangan intuisi, empati, dan sensitivitas sosial.
Damasio menyebut ini sebagai “somatic marker hypothesis”: bahwa tubuh dan emosi menyimpan jejak pengalaman moral yang kemudian membantu manusia menimbang risiko, nilai, dan dampak sosial dari sebuah keputusan.
Tanpa emosi, akal menjadi kosong dari konteks. Ia tahu benar dan salah secara konsep, tapi tak bisa merasa bersalah. Ia tahu adil dan zalim secara teori, tapi tak bisa merasa pedih saat menyaksikan ketimpangan.
Inilah yang menjelaskan mengapa banyak keputusan elite hari ini terasa mengagetkan publik. Kebijakan-kebijakan strategis diumumkan tanpa rasa empati.
Gaji pejabat dinaikkan di tengah rakyat yang menjerit. Proyek-proyek besar digenjot tanpa memedulikan dampaknya terhadap alam dan masyarakat adat. Hukum ditegakkan secara prosedural, namun kehilangan keadilan substantif.
Kita sedang melihat generasi pemimpin yang mungkin cerdas secara akademik, tapi tumpul secara nurani. Mereka bukan kekurangan data, tapi kekurangan rasa.
Ini bukan hanya soal politik. Ini soal kehilangan kemanusiaan. Ketika rasa malu menghilang, maka tak ada lagi rem untuk menahan keserakahan.
Ketika rasa pedih tak lagi muncul saat melihat orang susah, maka program pengentasan kemiskinan berubah menjadi sekadar laporan anggaran. Ketika rasa syukur dan haru tak lagi menggetarkan hati saat melihat anak yatim tersenyum, maka kegiatan sosial pun berubah menjadi pencitraan.
Masalah kita hari ini bukanlah kekurangan orang pintar. Kita justru punya terlalu banyak orang yang merasa tahu segalanya.
Masalah kita adalah defisit rasa. Kita kekurangan pemimpin yang memiliki sensitivitas, empati, dan keberanian untuk mengakui kesalahan.
Dan ironisnya, ini sering terjadi pada mereka yang merasa paling berpendidikan, paling religius, atau paling senior. Semakin tinggi posisi, semakin tebal tameng rasionalisasi.
Padahal manusia yang utuh adalah yang mampu menggabungkan akal dan rasa. Ia bisa membaca angka, tapi juga menangkap makna. Ia bisa memimpin rapat, tapi juga memeluk rakyat. Ia bisa menulis kebijakan, tapi juga meneteskan air mata saat mendengar jeritan ibu-ibu yang kehilangan tanahnya.
Islam pun menekankan keseimbangan ini. Al-Qur’an mengajarkan untuk menyeru manusia dengan hikmah dan pelajaran yang baik (QS. An-Nahl:125).
Hikmah adalah panggilan kepada akal. Pelajaran yang baik adalah sentuhan bagi hati. Allah bahkan mengecam mereka yang punya hati tapi tidak dipakai untuk memahami (QS. Al-A’raf:179).
Artinya, hati adalah organ berpikir, bukan sekadar ruang emosi. Dan nilai-nilai luhur ini sejatinya tidak hanya diajarkan oleh Islam, tetapi juga menjadi inti ajaran agama-agama besar di dunia.
Semua agama menanamkan pentingnya kasih sayang, keadilan, dan tanggung jawab sosial sebagai bekal hidup bersama dalam masyarakat dan bangsa. Artinya, hati adalah organ berpikir, bukan sekadar ruang emosi.
Jika ingin membangun bangsa yang adil dan bermartabat, kita harus memulihkan dimensi rasa dalam kepemimpinan dan kebijakan.
Pendidikan harus kembali menyentuh nurani, bukan hanya menjejali otak. Media harus kembali mengasah empati, bukan sekadar memburu sensasi. Dan agama harus kembali menjadi jalan memanusiakan manusia, bukan sekadar arena simbolik.
Akal saja tidak cukup. Rasa saja pun tidak cukup. Tapi ketika keduanya berjalan bersama, di sanalah letak kebijaksanaan.
Dan mungkin, itulah jalan paling manusiawi untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran yang perlahan tapi pasti. Karena ketika rasa sudah mati, kekuasaan hanya akan melahirkan penderitaan.
Maka, mari kita rawat rasa itu dari rumah, dari doa, dari keputusan-keputusan kecil yang jujur dan berani. (*)