Jakarta – Krisis ekonomi global diramalkan akan terjadi di tahun 2025 oleh sejumlah pakar ekonomi dunia, yang membawa Indonesia berada dalam situasi ketar-ketir.
World Bank memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia hanya mencapai 2,7%, sedangkan Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi stagnasi di angka 3,2%.
Di lingkup domestik, daya beli masyarakat tercatat semakin melempem. Kondisi ini akan selalu mengintai dan menjadi momok bagi perekonomian Indonesia. Ditambah tidak adanya aktivitas seperti pemilu yang dapat mendongkrak aktivitas konsumsi masyarakat di tahun ini.
Memang, sejak pertengahan tahun lalu, daya beli masyarakat menunjukkan tren pelemahan terhadap permintaan domestik. Bank Indonesia (BI) melaporkan, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) terus mengalami penurunan sejak pertengahan 2024. Lalu, dalam sebulan terakhir, deflasi tercatat 0,76% secara bulanan (month to month/mtm). Hal ini menggambarkan semakin berhati-hatinya masyarakat dalam menggelontorkan uang.
Penasihat Presiden Bidang Ekonomi Bambang Brodjonegoro mengatakan, jika melihat dari sisi global, sejak bulan Oktober 2024 dalam World Bank Annual Meeting, baik Chief Economist World Bank maupun IMF sudah meramalkan ekonomi global akan terjerembab.
“Artinya prospek ekonomi global akan suram. Suramnya karena tentunya banyak isu dan yang paling menonjol masalah geopolitik antara Rusia dan Ukraina. Kemudian sempat ada konflik antara Israel dan Iran,” jelasnya, dalam Economic Outlook 2025 bertema “Membaca Tanda-Tanda Akankah Terjadi Krisis di Tengah Ketidakpastian Global dan Lemahnya Daya Beli Masyarakat,” yang digelar Infobank Media Group bersama Asosiasi Asuransi Umum Indonesia dan Marketing Research Indonesia, di Shangri-La Hotel, Jakarta, 4 Februari 2025.
Ia menakar, prospek ekonomi di dalam negeri pada 2025 tidak akan berbeda jauh dengan 2024, yaitu di atas 5% kendati di satu sisi mesin yang mendorong pertumbuhan konsumsi tidak sekuat 2024. Mesin konsumsi yang dimaksud Bambang ialah adanya Pemilu dan perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) yang terjadi di kuartal IV/2024.
“Di Indonesia ini kalau harga komoditas sedang tidak dalam puncaknya atau tidak booming, maka ekonomi kita ini akan sangat di-drive oleh event. Dan kalau ada event besar yang rutin seperti Lebaran, puasa, Nataru, dan Pemilu. Tapi Pemilu sudah tidak ada lagi. Ditambah dengan pemotongan anggaran besar-besaran yang dilakukan pemerintah,” terangnya.
Dengan tidak adanya Pemilu, mesin pertumbuhan ekonomi di 2025 diharapkan dapat didorong oleh keberhasilan eksekusi program makan bergizi gratis dan penyediaan 3 juta rumah yang diusung Presiden Prabowo. Program tersebut akan menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi.
“Yang paling penting dua program ini harus kelihatan eksekusinya di tahun ini. Kalau bisa dilakukan tahun ini dengan relatively lebih baik, maka akan muncul multiplier effect. Efek yang tidak hanya bisa mendorong menjadi stimulus ekonomi tapi juga menjadi upaya untuk melakukan pemerataan dari pertumbuhan itu sendiri,” paparnya.
Ia menyebut, program makan bergizi gratis bisa menggerakkan ekonomi di tingkat lokal. Demikian sektor properti atau yang terkait dengan konstruksi bangunan memiliki dampak multiplier paling besar.
“Jadi kalau pemerintah bisa mengeksekusi berapa pun program rumah murah untuk rakyat ini akan bisa memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di tahun 2025,” ucapnya.
Di forum yang sama, Andry Asmoro, Chief Economist PT Bank Mandiri (Persero) Tbk meyakini bahwa Indonesia tidak akan mengalami krisis ekonomi di tahun 2025 selama tidak ada pandemi.
“Dari big data kami secara real, orang Indonesia masih punya hobby yang mendorong pertumbuhan ekonomi kita, yaitu belanja dan jalan-jalan. Selama transaksi itu masih ada kita masih tumbuh di atas 4,5% juga relatif baik,” terangnya.
Ia bercerita, di masa krisis tahun 2011 dan 2013, Indonesia termasuk kategori negara paling rentan (most vulnerable) di dunia. Berbeda dengan yang dulu, saat ini Indonesia termasuk golongan less vulnerable (kurang rentan), hanya saja marketnya masih dangkal (shallow).
Andry juga memaparkan bahwa ada sejumlah sektor domestik yang masih menjanjikan untuk tumbuh dalam jangka waktu lama. Sektor tersebut ialah industri telekomunikasi yang berpeluang besar mendapat investasi. Kemudian, sektor kesehatan yang selalu berada dalam rating menarik untuk dibiayai, bahkan sebelum terjadi pandemi.
Selanjutnya, sektor manufaktur yang didorong oleh kebijakan pemerintah juga menjadi sektor yang memiliki potensi pertumbuhan.
Pola Berulang dari Krisis 1998
Poppy Amalya, Psychologist and Micro Expression Expert memiliki pandangan yang berbeda dengan para ekonom tentang situasi ekonomi dan politik Indonesia ke depan.
Menurut kajiannya, Poppy menyebutkan ada kekhawatiran akan terjadinya krisis di dua tahun masa kepemimpinan Presiden Prabowo. Situasi ini diukur menggunakan konsep fractal di mana suatu kasus terjadi dari pola yang berulang dan memiliki kemiripan dari berbagai skala.
Poppy kemudian mengaitkan situasi di tahun 1996 dengan 2024 di mana saat itu Presiden terpilih berasal dari lingkungan yang sama. Dua tahun berselang pada 1998 terjadi krisis moneter yang menghantam Indonesia.
“Kemudian di tahun 1998 badai krisis moneter melanda, mengguncang fondasi ekonomi dan mengubah arah sejarah. Fractal pada 1998 anjloknya rupiah, gelombang PHK Massal, lonjakan harga barang pokok, demonstrasi mahasiswa besar-besaran. Disusul kerusuhan Mei 1998, penjarahan dan pembakaran terjadi di berbagai kota, termasuk Jakarta, Medan, dan Solo. Kejatuhan Soeharto dan awal reformasi,” urainya.
Berangkat dari kecemasannya itu, ia pun meminta agar pemerintah tidak mengambil kebijakan yang frontal untuk saat ini.
“Saya mempelajari ini, ini bukan ramalan tapi ini hukumnya berulang. Fenomena pola berulang dalam setiap elemen di alam semesta. Fractal terjadi di Indonesia. dan kita sekarang menganalisa fractal tersebut dengan kondisi Indonesia,” pungkasnya. (*)