Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Institute Teknologi Bandung dan Pemerhati Sosial Politik
Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, korupsi bukan hanya tidak berkurang, tetapi semakin membesar dan mengakar dalam sistem pemerintahan dan ekonomi.
Ini hasil sebuah observasi hidup dalam rentang waktu panjang dari penulis sebagai tumpahan akal sehat, dan daya pikir lintas dan filosofi keilmuan yang logis dan integritas Fase awal kemerdekaan, korupsi mungkin jarang terjadi karena kondisi yang ekonominya sangat lemah. Seiring dengan waktu, korupsi terjadi bersifat sporadis dan terbatas pada elite politik tertentu.
Namun, berjalanya tahun dg ekonomi membaik dan adanya sumber daya alam yang menjadi pendapatan negara dan sistem demokrasi panggung dengan oligarkinya, praktik korupsi menjadi lebih sistemik dan terstruktur, merambah ke berbagai sektor, termasuk birokrasi, peradilan, hingga dunia usaha.
Teori kelembagaan menjelaskan bahwa korupsi berkembang ketika norma informal, seperti patronase dan nepotisme, lebih dominan dibanding aturan formal.
Di Indonesia, korupsi berkembang bukan hanya karena lemahnya penegakan hukum, tetapi juga karena ia menjadi bagian dari mekanisme kekuasaan yang mempertahankan dominasi elite.
Fenomena ini semakin sulit diberantas karena hukum sering kali digunakan sebagai alat politik untuk melindungi kepentingan kelompok tertentu.
Teori “hukum sebagai senjata politik” menunjukkan bahwa hukum bisa dimanipulasi oleh penguasa untuk mempertahankan status quo.
Dalam konteks Indonesia, berbagai reformasi hukum yang bertujuan untuk memberantas korupsi sering kali dikendalikan oleh kepentingan politik, sehingga tidak benar-benar efektif.
Akibatnya, meskipun berbagai lembaga antikorupsi dibentuk dan banyak kasus besar dibongkar, korupsi tetap tumbuh subur dengan pola yang semakin canggih dan sulit dideteksi.
Jika tidak ada reformasi struktural yang mendalam, korupsi akan terus menjadi fenomena yang tidak hanya merusak ekonomi, tetapi juga mengancam fondasi demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia.
Korupsi di Indonesia bukan sekadar masalah hukum, tetapi sudah menjadi fenomena sosial, ekonomi, dan politik yang terstruktur.
Transparency International dalam laporan Indeks Persepsi Korupsi (CPI) menunjukkan bahwa skor Indonesia cenderung stagnan atau bahkan menurun dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada penegakan hukum, praktik korupsi tetap berlangsung dan semakin kompleks.
Menurut teori kelembagaan , korupsi terjadi ketika institusi formal (seperti hukum dan peraturan) gagal mengontrol perilaku aktor politik dan ekonomi, sehingga aturan informal seperti suap dan nepotisme menjadi norma.
Di Indonesia, hal ini terlihat dari bagaimana elite politik dan birokrasi membangun jejaring korupsi yang sulit ditembus.
Korupsi tidak hanya terjadi di tingkat individu, tetapi juga dalam jaringan yang melibatkan pejabat tinggi, politisi, hingga aktor non-pemerintah.
Bongkar Kasus: Hukum yang Dramatis dan Selektif
Penegakan hukum terhadap korupsi di Indonesia sering kali seperti panggung drama, di mana ada saat-saat di mana pengungkapan kasus begitu menggelegar, tetapi di saat lain justru sepi dan tidak terdengar.
Ini berkaitan juga dengan hukum sebagai alat kekuasaan dimana hukum tidak berdiri netral, tetapi sering digunakan untuk kepentingan politik tertentu. Fenomena ini terlihat dalam pola penindakan kasus korupsi yang cenderung selektif.
Kasus besar mendapatkan perhatian luas dan diekspos dengan gegap gempita, tetapi banyak kasus lain yang didiamkan tanpa kejelasan. Malah ada daftar liga korupsi ukuran mega korupsi tetapi tidak berkejelasan.
Dalam beberapa kasus, ada indikasi bahwa pengungkapan skandal korupsi dimanfaatkan sebagai alat bargaining atau tekanan terhadap lawan politik.
Lembaga Penegak Hukum: Dari Harapan ke Ketidakpercayaan
Keberadaan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, Kehakiman dan Kepolisian awalnya membawa harapan besar dalam pemberantasan korupsi.
Namun, seiring waktu, kepercayaan publik terhadap institusi-institusi ini menurun. Reformasi hukum yang seharusnya memperkuat independensi justru sering kali melemahkan efektivitas lembaga ini.
Teori agensi dalam ekonomi menjelaskan bahwa lembaga-lembaga ini idealnya bertindak sebagai “agen” yang mewakili kepentingan rakyat.
Namun, dalam praktiknya, mereka sering kali lebih tunduk pada kepentingan “principal” yang berkuasa, yaitu elite politik dan oligarki.
Hal ini terbukti dengan bagaimana perubahan UU KPK yang melemahkan independensi lembaga tersebut, serta berbagai kontroversi terkait penindakan hukum yang cenderung tebang pilih.
Korupsi dan Kekuasaan: Mengayunkan Hukum sebagai Senjata Politik
Di Indonesia, hukum bukan hanya alat untuk menegakkan keadilan, tetapi juga sering kali dijadikan alat politik untuk menekan atau melindungi pihak tertentu.
Konsep hukum sebagai senjata politik semakin relevan dalam konteks ini, di mana kasus korupsi sering kali dibuka atau ditutup berdasarkan kepentingan politik penguasa.
Misalnya, dalam tahun politik atau menjelang pemilu, beberapa kasus korupsi tiba-tiba mencuat dengan narasi besar, tetapi setelah kepentingan politiknya selesai, kasus tersebut menguap begitu saja.
Hukum bukan hanya alat untuk mengatur masyarakat, tetapi juga sarana untuk mempertahankan kekuasaan dan mendisiplinkan lawan-lawan politik.
Perlu Reformasi Menyeluruh, Bukan Sekadar Drama Hukum
Dari berbagai fenomena di atas, jelas bahwa korupsi di Indonesia bukan hanya masalah individu, tetapi sudah menjadi sistemik dan melekat dalam struktur kekuasaan.
Upaya pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan masih cenderung bersifat seremonial dan tidak menyentuh akar masalah.
Reformasi hukum yang lebih transparan, penguatan institusi anti-korupsi yang independen, serta keterlibatan masyarakat sipil dalam pengawasan menjadi langkah yang harus diutamakan.
Tanpa perombakan struktural, pemberantasan korupsi di Indonesia hanya akan terus menjadi drama berulang yang spektakuler di permukaan, tetapi tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya.