Jakarta — Polemik batas usia capres dan cawapres berakhir anti-klimaks. Majelis Hakim MK mengabulkan permohonan yang diajukan mahasiswa FH UNS Almas Tsaqibbirru dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam putusan tersebut, MK mengabulkan sebagian permohonan yang menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Intinya, batas minimal usia capres dan cawapres tetap 40 tahun, tetapi aturan itu tidak berlaku bagi yang pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu atau pilkada. Jadi, meski berusia di bawah 40 tahun, tapi pernah atau sedang menjadi anggota DPR, DPD, DPRD, gubernur, bupati, atau walikota, diperbolehkan maju sebapai capres atau cawapres.
Selama ini, undang-undang memang mengatur batasan minimal calon pejabat publik. Untuk capres dan cawapres minimal 40 tahun, gubernur 35 tahun, bupati dan walikota 30 tahun, anggota DPR, DPD, dan DPD minimal 21 tahun.
MK berpendapat, meski di bawah 40 tahun, capres atau cawapres yang pernah menduduki jabatan publik dianggap memiliki pengalaman dan kapasitas, sehingga layak untuk maju dalam kontestasi pemilihan pemimpin nasional. Dalihnya, memberi ruang kepada generasi milenial untuk berpartisipasi di level nasional.
Alasan yang rasional dan masuk akal. Generasi milenial memang layak diberikan ruang dan kesempatan. Namun, dalam konteks hari ini, tak bisa dilepaskan dari keinginan segelintir pihak untuk melempangkan jalan anak sulung Jokowi yang juga Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju sebagai cawpres di Pilpres 2024. Jokowi dituding beberapa pihak memanfaatkan jabatannya untuk melanggengkan kekuasaannya.
Politik dinasti pun menjadi isu yang menggelinding keras menjelang hari-H Pilpres 14 Februari 2024 mendatang. Jokowi menjadi sasaran tembak, bahkan oleh kalangan internal dan elite PDIP, partai yang mengantarnya duduk di Istana Negara selama dua periode.
Jokowi, di Pilpres 2024, harus diakui, memang menjadi king maker. Ini tak lepas dari tingginya tingkat kesukaan (approval rating) menjelang akhir masa jabatan keduanya. Jokowi menempatkan diri sebagai kepala negara dengan approval rating tertinggi di dunia: 82%. Posisi yang membuatnya benar-benar di atas angin.
Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem, yang mengambil langkah opisisi dengan menjual isu perubahan, terbukti mental. Anies Baswedan, sosok yang diusung sebagai antitesa Jokowi, pun terkapar. Beberapa survei tingkat elektabilitas capres menempatkan Anies di posisi buncit dari tiga nama bakal capres yang ada. Isu “perubahan” tak mempan melawan isu “lanjutkan” di mana Jokowi menjadi master mind-nya.
Naiknya elektabilitas Prabowo Subianto setelah menempel Jokowi adalah bukti nyata betapa kuatnya pengaruh Jokowi. Elektabilitas mantan Danjen Kopassus itu terus melejit, bahkan seringkali melampaui Ganjar Pranowo, Gubernur Jateng yang diajukan PDIP sebagai capres.
Menjadikan Gibran sebagai cawapres adalah mimpi besar Prabowo yang menjadi triger munculnya polemik batasan minimal usia capres dan cawapres. Dengan menjadikan Gibran sebagai cawapresnya, Prabowo semakin percaya diri mengklaim sebagai “penerus” Jokowi. Bukan Ganjar.
Dan, Jokowi sepertinya memberi angin. Tak mudah menolak godaan untuk menjadikan putra mahkotanya duduk si singgasana. Sangat disayangkan.
Dengan plus-minusnya, Jokowi sejatinya telah menempatkan diri sebagai pemimpin yang berhasil dan dicintai rakyatnya. Dia meninggalkan banyak legacy. Pembangunan infrastruktur yang begitu masif harus diakui sebagai karya terbaiknya, meski harus dikompensasi dengan utang luar negeri.
Dia seharusnya menjelang “husnul khatimah” di akhir kepemimpinannya. Approval rating 82% adalah bukti nyata. Rakyat begitu mencintainya: kesederhanaanya, kesabarannya, dan ketegasannya. Seharusnya dia berakhir di sini.
Godaan menjadikan Gibran sebagai bagian dari kepemimpinan nasional menjadikan Jokowi berada di tebir jurang. Andai pun kelak misalnya dia berhasil mengantar Gibran sebagai wapres mendampingi Prabowo, ada harga mahal yang harus dia bayar: citra baiknya. Dia akan dicap sebagai pemimpin yang melanggengkan kekuasaan dengan politik dinasti, dan memanfaatkan perangkat kekuasaan. Hal biasa dalam politik, dengan nada minor.
Dan, untuk meraih mimpinya itu, dia akan menghadapi badai yang harus dia hitung dengan cepat, cermat, dan matang, sebelum penetapan capres dan cawapres. Badai bernama common enemy.
Ya, elite-elite partai yang merasa “dicurangi” Jokowi, tentu tak akan tinggal diam. Terlebih PDIP, partai yang membesarkan namanya. Menjadikan Jokowi sebagai musuh bersama, jika dia benar-benar menjadikan Gibran sebagai cawapres Prabowo, adalah keniscayaan yang tak terhindarkan. Musuh bersama dengan isu tunggal: dinasti politik.
Gerakan masyarakat melawan upaya melanggengkan kekuasaan melalui dinasti politik sudah mulai bergulir sejak putusan MK diketuk, Senin, 16 Oktober 2023 kemarin. Isu ini sepertinya tak terbendung lagi. Tokoh-tokoh masyarakat, seniman, budayawan, agamawan, mahasiswa, dan berbagai elemen gerakan sudah mulai merapatkan barisan.
Jika gerakan ini membesar, Jokowi, juga Prabowo dan Gibran, akan berada di posisi sulit. Pengalaman membuktikan, sulit menangkal gerakan yang sudah bergulir menjadi gerakan massa.
Kondisi ini menguntungkan kubu Ganjar dan Anies. Mereka sangat mungkin bergandengan tangan dan menjadi ikon untuk menghadapi musuh bersama. Rakyat akan berada di belakang mereka. (Darto Wiryosukarto)