Oleh Diding S. Anwar, mantan Direktur Utama Jamkrindo dan Jasa Raharja.
“Mencari Jalan Pulang Menuju Kemakmuran yang Adil dan Merata”
Di kebanyakan rumah tangga Indonesia, kesejahteraan kini berwajah cicilan. Mobil dicicil, rumah dikredit, gawai diangsur, dan liburan dibayar dengan paylater. Foto-foto bahagia bertebaran di media sosial, namun di balik senyum itu, ada jantung yang berdebar setiap kali notifikasi tagihan muncul.
Mereka bekerja keras, mengejar impian yang seolah tak pernah selesai. Namun setiap langkah maju terasa seperti berjalan di atas pasir yang bergeser: berat, lambat, dan tak berpijak kokoh. Bangsa ini, kata statistik, tumbuh 5 persen per tahun. Tetapi, bila kita tengok isi dompet rakyat, yang tumbuh justru kecemasan — bukan kesejahteraan.
Benarkah kita kaya di grafik, tapi miskin di kenyataan?
Ilusi Kemapanan di Negeri Pertumbuhan 5 Persen
Indonesia terlihat makmur. Gedung-gedung baru berdiri setiap bulan, jalan tol membentang, dan pusat perbelanjaan penuh sesak setiap akhir pekan. Namun, di balik semua kemegahan itu, jutaan keluarga hidup di ambang jurang finansial.
Kita hidup dari gaji ke gaji, dari cicilan ke cicilan — seolah makmur, padahal hanya menunda kenyataan.
Kelas menengah yang dahulu disebut engine of growth kini berubah menjadi engine of debt. Kebahagiaan pun kini dikonversi menjadi tenor.
Kaya di Statistik, Miskin di Daya
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, Mei 2025), penduduk Indonesia kini mencapai sekitar 285,7 juta jiwa.
Dari jumlah itu: 8,57 persen tergolong miskin, 24,42 persen rentan miskin, 49,29 persen menuju kelas menengah, dan hanya 17,25 persen yang benar-benar mapan.
Kelas atas? Hanya 0,46 persen — tidak sampai dua juta orang.
Artinya, hanya satu dari enam orang Indonesia yang benar-benar hidup nyaman. Sisanya berada di zona rapuh kesejahteraan — ruang antara, di mana satu guncangan ekonomi saja bisa meruntuhkan seluruh tatanan hidup.
Kita makmur di grafik, tapi miskin di dapur. Di meja makan rakyat, piringnya banyak, tapi lauknya tipis.
Pertumbuhan ekonomi memang ada, tapi daya hidup rakyat tetap tersandera.
Rakyat Bekerja, tapi Tanpa Payung
Data terbaru menunjukkan, 59,4 persen pekerja Indonesia — sekitar 86,5 juta orang — masih bekerja di sektor informal. Mereka tidak memiliki kontrak tetap, jaminan sosial, atau kepastian penghasilan. Sementara hanya 40,6 persen yang bekerja di sektor formal.
Sebagian besar menggantungkan hidup pada pertanian, perdagangan kecil, ojek daring, industri rumahan, dan jasa informal. Mereka disebut pekerja bebas, padahal sejatinya pekerja tanpa payung. Negara tumbuh, tetapi hasilnya tak selalu kembali kepada mereka. Pendapatan naik-turun, tabungan menipis, dan setiap kenaikan harga membuat mereka terguncang.
Faktanya, 97 persen tenaga kerja nasional bekerja di sektor UMKM, atau sekitar 135 juta orang. Merekalah tulang punggung sejati ekonomi bangsa — namun juga kelompok yang paling rentan terhadap badai ekonomi global.
Kekayaan Alam dan Letak Strategis: Modal Besar yang Belum Dikelola Merata
Indonesia sejatinya bukan negeri miskin. Indonesia berdiri di titik paling strategis di dunia — di antara Samudra Hindia dan Pasifik, menguasai empat selat utama perdagangan global: Malaka, Sunda, Lombok, dan Makassar. Lebih dari 40 persen arus perdagangan dunia melintasi perairan Nusantara.
Kita memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, 31,9 miliar ton batubara (ESDM, 2024), produksi sawit 46 juta ton (58 persen pangsa dunia), dan termasuk lima besar produsen ikan tangkap dan budidaya global (FAO, 2024).
Namun, kekayaan luar biasa itu belum sepenuhnya menghadirkan keadilan sosial bagi rakyat kecil.
Hilirisasi berjalan, tapi hasilnya menumpuk di segelintir kelompok industri besar. Nilai tambah ekonomi masih terlalu sedikit yang kembali ke desa, ke pasar kecil, ke nelayan, dan ke pengrajin. Kita kaya sumber daya, tetapi miskin tata kelola.
Akar Masalah: Pertumbuhan Tanpa Nilai Tambah
Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih lebih digerakkan oleh konsumsi ketimbang produktivitas. Upah riil stagnan, biaya hidup melonjak, dan gaya hidup konsumtif terus dipompa oleh ilusi iklan dan gengsi sosial.
Kita bekerja keras, tapi tidak untuk menambah nilai — hanya untuk bertahan dari bulan ke bulan. Kita menambal kemiskinan dengan utang, bukan dengan inovasi. Inilah kemapanan semu — hidup dari pinjaman, bukan dari karya.
Jalan Pulang: UMKM, Koperasi, dan Penjaminan
Jalan pulang menuju kemakmuran sejati bukan lewat pinjaman baru, melainkan lewat produktivitas, solidaritas, dan keberpihakan kepada ekonomi rakyat. Kelas menengah sejati lahir bukan dari konsumsi, tetapi dari kerja bernilai dan kolaborasi yang saling menguatkan.
UMKM menyerap 97 persen tenaga kerja nasional (sekitar 135 juta orang) dan menyumbang 61 persen terhadap PDB nasional. Dengan PDB 2024 sebesar Rp22.139 triliun, kontribusi UMKM mencapai Rp13.500 triliun.
Namun, sebagian besar pelaku UMKM belum bankable karena minim literasi dan jaminan usaha. Di sinilah koperasi harus direvitalisasi — bukan sekadar wadah simpan-pinjam, tetapi platform produksi dan distribusi kolektif.
Industri penjaminan juga menjadi pagar penting. Industri penjaminan menjembatani keberanian rakyat dengan kepercayaan lembaga keuangan. Penjaminan adalah jembatan antara keberanian dan kepercayaan — dua hal yang menjadi bahan bakar kemajuan ekonomi rakyat.
Jalan Pulang Konstitusional: Kembali ke Amanat UUD 1945
Sesungguhnya, arah pulang bangsa ini sudah tertulis di dasar negara kita sendiri. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 sejatinya bukan sekadar teks hukum, melainkan kompas moral dan ekonomi bangsa.
Pasal 33 ayat (1)
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”
Pasal 33 ayat (3)
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Pasal 31 ayat (3)
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Pasal 34 ayat (1)
“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”
Inilah peta jalan sejati — ekonomi yang berpihak pada rakyat, pendidikan yang memerdekakan, dan sistem sosial yang memelihara yang lemah tanpa meniadakan daya juang mereka.
Jalan Pulang berarti kembali kepada semangat konstitusi: menjadikan ekonomi bukan alat memperkaya segelintir, tetapi menyejahterakan sebanyak-banyaknya. Menjadikan negara bukan penonton, tetapi pelindung.
Dan menjadikan rakyat bukan objek statistik, tetapi subjek kemakmuran.
Arah Ideal: Dari Informal ke Formal, dari Konsumtif ke Produktif
Kelas menengah sejati tumbuh bila pekerja informal naik kelas menjadi pelaku usaha formal, ketika proporsi tenaga kerja formal melampaui 60 persen, dan industri penjaminan diperkuat sebagai pilar keadilan ekonomi rakyat.
Digitalisasi ekonomi pun harus diarahkan pada produktivitas, bukan sekadar gaya hidup konsumtif. Teknologi seharusnya memperluas kesempatan, bukan memperlebar jurang antara “yang berutang” dan “yang memberi pinjaman.”
Merdeka dari Ilusi
“Pertumbuhan tanpa keadilan adalah fatamorgana. Kedaulatan sejati lahir dari rakyat yang bekerja, bukan yang berutang”.
Kita tidak kekurangan tangan untuk bekerja, hanya sering kehilangan hati untuk bekerja jujur. Bangsa besar bukan diukur dari panjangnya jalan tol atau gemerlap mal, tetapi dari kuatnya ekonomi rakyat yang mandiri dan berkeadilan.
Sudah saatnya kita menata arah. Dari konsumen pertumbuhan menjadi pencipta nilai tambah, dari ilusi menuju kemandirian, dari angka menuju makna. Kesejahteraan sejati bukan soal tinggi pendapatan, melainkan tenangnya hati dan cukupnya rezeki yang halal.