Batu bara Terjepit antara Ekonomi dan Dekarbonisasi Solusi Semu

Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Institut Teknologi Bandung

Di tengah gelombang global menuju dekarbonisasi, negara-negara seperti China, India, dan Indonesia terperangkap dalam kontradiksi antara mematikan pembangkit listrik batu bara yang berarti mengorbankan ekonomi, atau mempertahankannya yang membuat krisis iklim semakin cepat.

Ketiga negara ini menyumbang 70% produksi batu bara global (IEA, 2023). China memproduksi 4.900 juta ton per tahun, India sekitar 1,1 miliar ton untuk 70% kebutuhan listriknya. Sementara Indonesia memproduksi sekitar 720 juta ton per tahun.

Nilai ekonomi batu bara China sekitar US$ 450 miliar per tahun, sedangkan, Indonesia sekitar US$ 70 miliar per tahun.

Batu bara tetap menjadi tulang punggung energi karena biaya listriknya yang terjangkau, yaitu di bawah 15 sen USD per kWh. Berbeda dengan energi terbarukan seperti biomassa, surya, atau angin yang belum mampu menggantikan skala pasokan masif emas hitam tersebut.

Transisi ke energi terbarukan masih terbentur skala dan biaya. Biomassa, angin, atau surya belum mampu menggantikan pasokan batu bara yang masif.

Laporan IRENA (2023) menunjukkan, untuk mengganti 1 ton batu bara memerlukan 3-5 ton biomassa. Angka yang mustahil tercapai tanpa deforestasi besar-besaran. Sementara itu, ketergantungan pada PLTU tetap tinggi karena infrastruktur energi terbarukan belum memadai dan biaya penyimpanan listrik masih mahal.

Di sisi lain, pembakaran batu bara terus memperparah krisis iklim, dengan emisi CO₂ global yang diprediksi meningkat 1,5% pada 2024 akibat aktivitas PLTU. Negara-negara ini pun terjepit antara memenuhi kebutuhan energi rakyat dan memikul tanggung jawab lingkungan yang mendesak.

Penggunaan batu bara pada industri (Foto: Istimewa)

Hadapi Dilema

Larangan pembakaran batu bara untuk kebutuhan industri sebagai upaya mengurangi emisi karbon telah menciptakan dilema ekonomi bagi negara-negara yang bergantung pada energi fosil.

Batu bara menyumbang sekitar 40% produksi listrik global (IEA, 2023). Negara seperti China, India, dan Indonesia mengandalkannya untuk menjaga biaya listrik tetap murah (di bawah 10 sen USD/kWh).

Namun, tekanan global untuk dekarbonisasi memaksa pembatasan penggunaan batu bara melalui kebijakan seperti pajak karbon, larangan ekspor-impor, atau penutupan PLTU. Dampaknya, industri padat energi seperti baja, semen, dan pupuk menghadapi kenaikan biaya produksi hingga 30% (World Bank, 2023). Sementara negara pengekspor batu bara kehilangan pasar utama.

Di Afrika Selatan, misalnya, rencana penutupan PLTU berisiko memangkas lapangan kerja dan meningkatkan tarif listrik (CSIR, 2023).

Bagi negara berkembang dan negara maju sekali pun , listrik murah adalah prasyarat industrialisasi. China masih sangat bergantung pada batu bara untuk memenuhi kebutuhan listriknya.

Pada tahun 2023, sekitar 60% total produksi listrik China berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Batu bara (PLTU), dengan total kapasitas terpasang PLTU mencapai 1130 Gigawatt (GW), di mana konsumsi ini terbesar di dunia (IEA, 2023).

India juga mengandalkan batu bara untuk mengejar ketertinggalan. Sementara Indonesia menggantungkan 65% penerimaan ekspor pada komoditas, termasuk batu bara, yang menopang 4% PDB nasional. Namun, pertumbuhan ini dibayar mahal dengan makin membesarnya akumulasi gas CO2 di udara yang menyebabkan pemanasan bumi secara global. Emisi China menyumbang 27% CO₂ global (Global Carbon Project, 2023)

Meski larangan batu bara diperlukan untuk memitigasi krisis iklim, transisi yang tidak inklusif berpotensi memperlebar ketimpangan ekonomi. Negara berkembang kesulitan mengakses pendanaan hijau untuk membangun infrastruktur energi terbarukan pengganti batu bara.

Menurut IPCC (2023), hanya 20% investasi energi bersih global yang mengalir ke negara berpenghasilan rendah. Mekanisme seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa juga dikritik karena memberatkan ekspor dari negara miskin.

Solusi parsial seperti gasifikasi batu bara atau teknologi CCS (Carbon Capture and Storage) masih mahal. Harganya di rentang US$ 50–100/ton CO₂ dan belum teruji secara luas (Global CCS Institute, 2023).

Pun, ketergantungan pada batu bara terus memperparah dampak iklim, di mana emisi CO₂ dari PLTU menjadi penyumbang dominan pada total emisi global (Global Carbon Project, 2023). Tanpa pendanaan dan transfer teknologi yang adil, larangan batu bara hanya akan menjadi beban bagi negara berkembang.

Pekerja tambang mengamati proses pemindahan batu bara untuk diekspor (Foto: Istimewa)

Solusi Semu Biomassa dan EBT

Janji energi terbarukan sebagai pengganti batu bara terbentur pada realitas matematika yang tak terbantahkan dalam hal ketidakcukupan pasokan. Indonesia mengonsumsi sekitar 130–150 juta ton batu bara yang digunakan untuk PLTU. Adapun, sekitar 20–30 juta ton dialokasikan untuk industri seperti semen, pupuk, dan metalurgi (Kementerian ESDM, 2023).

Pasokan biomassa Indonesia yang sekitar 450 juta per tahun tidak akan mampu untuk menggantikannya.

Untuk menggantikan 4.900 juta ton batu bara yang diproduksi China setiap tahun, diperlukan 14.700 juta ton biomassa. Jumlah ini setara dengan tiga kali lipat produksi kayu global saat ini (FAO, 2022). Ini tidak realistis tanpa deforestasi masif yang justru memperparah krisis iklim.

Sementara itu, energi surya dan angin menghadapi masalah intermitensi yang belum terselesaikan. Menurut analisis Lazard (2022), biaya penyimpanan baterai untuk mengatasi fluktuasi pasokan energi terbarukan masih 3-4 kali lebih mahal daripada biaya operasional PLTU.

Di Indonesia, potensi energi surya sebesar 442 GW hanya didukung kapasitas penyimpanan baterai 50 MW. Ini memperlihatkan rasio yang timpang dan ketidaksiapan infrastruktur (IESR, 2023).

Maka, tanpa terobosan teknologi penyimpanan energi atau sumber terbarukan yang stabil dalam jumlah yang sepadan dengan energi yang dihasilkan batu bara, transisi energi hanyalah menjadi sebuah ilusi.

Upaya menggantikan batu bara dengan energi terbarukan juga terhambat oleh ketiadaan teknologi revolusioner yang mampu menyaingi skala dan keandalan batu bara. Meski China telah menjadi produsen panel surya terbesar dunia, kapasitas terpasangnya hanya menyumbang 15% dari total kebutuhan listrik (CNREC, 2023).

Sementara itu, proyek energi angin lepas pantai di Jerman atau AS membutuhkan investasi jauh lebih besar per MW-nya bila dibandingkan dengan investasi PLTU batu bara per MW (IEA, 2023).

Di negara berkembang seperti India, ketergantungan pada batu bara tetap tinggi karena energi terbarukan belum mampu memasok listrik untuk industri. Alhasil, transisi energi tanpa inovasi teknologi yang memadai hanya akan mengalihkan ketergantungan dari batu bara ke deforestasi atau baterai mahal, tanpa menyelesaikan akar masalah. Ini disebabkan ketiadaan solusi yang skalabel dan terjangkau.

Kepulan asap industri yang menggunakan bahan bakar fosil (Foto: Istimewa)

Pertarungan Sosial Tak terhindarkan

Di balik angka produksi batu bara, tersembunyi jutaan nyawa yang bergantung pada industri ini. Menutup tambang tanpa skema transisi pekerja yang jelas akan memicu gelombang pengangguran dan kerusuhan sosial dengan adanya penghapusan batu bara. Namun, mempertahankan status quo juga berbahaya terhadap pemanasan bumi secara global.

Pilihan antara mempertahankan lapangan kerja atau menyelamatkan lingkungan adalah dilema yang tak terpecahkan tanpa kebijakan inklusif.

Penghapusan batubara berpotensi memicu krisis sosial-ekonomi, terutama di daerah yang bergantung pada tambang. Di sisi lain, emisi batu bara mempercepat krisis iklim.

Laporan IPCC (2023) menegaskan, tanpa pengurangan emisi batu bara, kenaikan suhu 1,5°C akan tercapai pada 2030, yang memicu bencana seperti kekeringan dan kenaikan permukaan laut. Solusi seperti program “Just Transition” yang diusung Uni Eropa masih lambat direalisasikan. Tanpa pendanaan dan pelatihan kerja yang memadai, transisi energi hanya akan memperdalam ketimpangan.

Obat Ajaib Carbon Capture and Storage (CCS)

Carbon Capture and Storage (CCS) kerap dipromosikan sebagai solusi untuk memperpanjang usia batu bara dan minyak bumi dengan menangkap dan menyimpan emisi CO₂. Namun, realitasnya jauh dari janji.

Proyek-proyek CCS secara global banyak yang gagal memenuhi target penyimpanan emisi akibat masalah teknis, seperti kebocoran geologis dan biaya operasional yang membengkak. Biayanya pun sangat mahal dibandingkan harga batu bara.

Di Indonesia sendiri, proyek percontohan CCS hanya mampu menangkap sangat sedikit ton CO₂ per tahun. Padahal, sebagai contoh emisi tahunan PLTU Jawa 7 mencapai 10 juta ton CO₂ (IESR, 2023). Jadi CCS lebih sering digunakan hanya sebagai alat greenwashing dalam menunda transisi energi, alih-alih menjadi solusi nyata.

Meski secara teori CCS dapat mengurangi emisi, skalanya terlalu kecil untuk mengimbangi produksi batu bara masif. Untuk menetralisir emisi PLTU global, diperlukan 32000 fasilitas CCS berkapasitas 1 juta ton CO₂/tahun.

Proyek yang seperti ini mustahil mengingat saat ini hanya ada dalam puluhan saja fasilitas CCS aktif di dunia. Selain itu, risiko kebocoran CO₂ dari penyimpanan bawah tanah dapat mencemari air tanah dan memicu gempa mikro. Di sisi lain, ketergantungan pada CCS justru memperlambat adopsi energi terbarukan. Dengan kata lain, CCS bukanlah “obat ajaib”, melainkan strategi mengulur waktu yang mengorbankan masa depan iklim. (*)

Writer: Yazid Bindar, Guru Besar Institue Teknologi Bandung (Beijing, 19 April 2025)

Editor: RAL

batu baradekarbonisasiEBTenergi terbarukanPLTSPLTUYazid Bindar
Comments (0)
Add Comment