Babay Bantah Dakwaan Jaksa, Kuasa Hukum Tegaskan Tak Ada Suap dalam Kredit Sritex

Highlight:

  • Sidang dugaan korupsi kredit Bank DKI ke Sritex digelar di Pengadilan Tipikor Semarang, dengan nilai kredit Rp150 miliar dan klaim kerugian negara Rp180 miliar.
  • Mantan pejabat Bank DKI, Babay Farid Wazdi, didakwa jaksa melanggar prinsip kehati-hatian dan dituding mengetahui rekayasa laporan keuangan Sritex Group.
  • Kuasa hukum Babay mengajukan eksepsi keras, menilai perkara kredit ini murni sengketa perdata, tidak ada suap, gratifikasi, dan keuntungan pribadi.

Jakarta- Sidang perdana kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas Kredit Modal Kerja (KMK) Bank DKI kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) senilai Rp150 miliar resmi bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Semarang.

Dalam sidang perdana yang digelar Senin (22/12/2025), jaksa menghadirkan Babay Farid Wazdi sebagai terdakwa, mantan Direktur Kredit UMKM sekaligus Direktur Keuangan Bank DKI Jakarta periode 2019–2022.

Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuding Babay telah menyetujui pencairan kredit kepada Sritex Group tanpa penerapan prinsip kehati-hatian yang disebut berdampak pada kerugian keuangan negara hingga sekitar Rp180 miliar.

JPU menyebut fasilitas kredit diberikan menggunakan skema jaminan umum tanpa agunan kebendaan yang menurut jaksa seharusnya hanya berlaku bagi debitur dengan kualitas prima.

Tak hanya itu, JPU juga menuding adanya rekayasa laporan keuangan yang melibatkan pimpinan Sritex Group, yakni Direktur Utama Iwan Kurniawan Lukminto dan Komisaris Iwan Setiawan Lukminto.

Babay disebut mengetahui dan turut berperan dalam proses tersebut sehingga memperkaya pihak lain atau korporasi melalui PT Sritex, yang diklaim menjadi sumber kerugian negara.

Atas dakwaan tersebut, Babay dijerat Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Namun, tudingan jaksa langsung mendapat perlawanan keras dari tim kuasa hukum terdakwa.

Babay Ajukan Eksepsi

Menanggapi hal itu, Kuasa hukum Babay, Dodi Abdulkadir, secara resmi mengajukan eksepsi atau nota keberatan yang dibacakan di hadapan majelis hakim.

Dodi menegaskan bahwa kliennya sama sekali tidak memiliki hubungan personal maupun komunikasi dengan pihak Sritex.

“Pak Babay tidak pernah bertemu, tidak mengenal, dan tidak pernah melakukan komunikasi, baik langsung maupun tidak langsung, dengan pihak PT Sritex. Beliau juga bukan pihak yang menawarkan maupun mencairkan kredit,” tegas Dodi dalam eksepsinya, dikutip Rabu (23/12).

Dodi menjelaskan, peran Babay dalam perkara ini murni bersifat struktural dan administratif, yakni sebatas pengambilan keputusan kredit sesuai kewenangan jabatan dan prosedur internal bank.

Ia menekankan bahwa kliennya tidak terlibat dalam proses negosiasi, penawaran, hingga pencairan dana kepada debitur.

“Kewenangan Pak Babay hanya pada keputusan kredit. Tidak ada keterlibatan dalam negosiasi, penawaran, ataupun pencairan dana,” ujarnya.

Tidak Adanya Bukti Suap

Lebih jauh, tim kuasa hukum menilai jaksa telah keliru mempidanakan persoalan yang sejatinya merupakan hubungan hukum perdata antara bank dan debitur.

Menurut Dodi, perjanjian kredit mengandung risiko bisnis yang tidak otomatis berubah menjadi tindak pidana ketika terjadi kredit bermasalah.

“Hubungan bank dan debitur adalah hubungan perdata. Kredit macet bukan peristiwa pidana, melainkan risiko bisnis yang secara hukum diselesaikan melalui mekanisme perdata. Seperti restrukturisasi atau gugatan wanprestasi,” kata Dodi.

Ia juga menegaskan tidak ada satu pun fakta dalam dakwaan yang menunjukkan adanya suap, gratifikasi, atau keuntungan pribadi yang diterima Babay.

“Dalam dakwaan jaksa, tidak ditemukan satu pun fakta mengenai penerimaan suap, gratifikasi, atau keuntungan pribadi oleh Pak Babay,” tegasnya.

Selain bantahan materiil, tim kuasa hukum juga mempersoalkan aspek formil dakwaan. Eksepsi diajukan dengan alasan dakwaan kabur atau obscuur libel, error in persona karena menempatkan orang yang salah sebagai terdakwa, hingga berkas dakwaan yang dinilai tidak lengkap.

Kuasa hukum juga mengajukan keberatan atas kompetensi absolut pengadilan dengan menilai perkara ini lebih tepat dikategorikan sebagai sengketa perdata, bukan tindak pidana korupsi.

Tak hanya itu, kompetensi relatif turut dipersoalkan karena seluruh proses persetujuan kredit dilakukan di Jakarta, bukan di Semarang.

“Jika locus perkara ada di Jakarta, maka kompetensi Pengadilan Tipikor Semarang patut dipertanyakan,” ujar Dodi.

Majelis hakim menjadwalkan sidang lanjutan dengan agenda tanggapan JPU atas eksepsi yang diajukan oleh pihak Babay Farid Wazdi.

Sebagai catatan, pada hari yang sama Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang juga menggelar sidang perdana terhadap dua petinggi PT Sri Rejeki Isman Tbk, yakni Iwan Kurniawan Lukminto dan Iwan Setiawan Lukminto.

Keduanya didudukkan sebagai terdakwa dalam perkara dugaan penyalahgunaan pencairan fasilitas kredit yang dinilai tidak sesuai peruntukan, dengan potensi kerugian keuangan negara yang ditaksir melampaui Rp1 triliun. (*) RAL

Babay Parid Wazdi
Comments (0)
Add Comment