Aceh Utara — Aceh pernah gemerlapan dengan minyak dan gas bumi atau migas ketika PT Arun Natural Gas Liquefaction dikenal dengan PT Arun NGL & Co di Lhokseumawe, Aceh Utara, aktif memproduksi gas alam cair sekitar 1990-an.
Ketika masih jayanya PT Arun, muncul banyak perusahaan. Seperti PT Asean Aceh Fertilizer (AAF), PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), PT Kertas Kraft Aceh (KKA), dan aneka perusahaan industri lain tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan.
Sayang, gemerlapan LNG Arun Aceh Utara kini tinggal kenangan setelah perusahaan itu tak lagi memproduksi LNG alias kehabisan cadangan LNG.
Kini, perusahaan AAF dan KKA yang bergantung bahan baku dari PT Arun juga tak lagi beroperasi kecuali PT PIM tetap eksis. Apalagi perusahaan industri lain mengalami nasib serupa akibat terputus bahan bakunya.
Namun, bumi berjuluk Serambi Mekkah itu masih menyimpan banyak kekayaan alam. Seperti yang diungkapkan Gubernur Aceh, Ir H Nova Iriansyah MT bahwa produksi migas nasional di Aceh pada tahun 2030 mendatang akan mencapai satu juta barel per hari.
Gubernur mengungkapkan target migas itu ketika memberi sambutan saat membuka resmi acara Vendor Day di Hermes Palace Hotel Banda Aceh, Jumat 17 Desember lalu
Untuk merealisasi target tersebut, Gubernur mengajak para pemangku kebijakan migas nasional dan seluruh jaringan mitra kerja migas Aceh bekerja sama dengan sebaik-baiknya. Tanpa kerjasama yang baik program tersebut sulit terlaksana.
Dalam kegiatan yang digelar Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) bersama perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas Aceh, Nova melukiskan dukungan pemerintah pusat, SKK Migas, dan pemangku kepentingan lainnya sangat besar untuk mengoptimalkan potensi migas Aceh.
Tak hanya itu, Gubernur juga meminta kerja sama antar pihak harus ditingkatkan, agar Aceh mampu berkontribusi terhadap target pemerintah memproduksi satu juta barel migas per hari di tahun 2030 mendatang.
Nova menggambarkan, saat ini tercatat 12 wilayah kerja migas aktif di Aceh, terdiri 3 wilayah kerja berada di bawah pengendalian SKK Migas, yaitu WK Andaman I yang dikelola Mubadala Petroleum, WK Andaman II yang dikelola Konsorsium Premier Oil Andaman Limited, dan WK North Sumatera Offshore (NSO) dikelola Pertamina Hulu Energi Rokan.
Bukan hanya itu, ada pula satu WK lainnya, yakni Pertamina Asset Rantau Field yang saat ini sedang dalam proses pengalihan dari SKK Migas ke BPMA.
Dari semua WK itu, produksi migas lepas pantai di wilayah Laut Andaman Selat Malaka adalah yang terbesar. Kalau saja semua WK itu sudah pada tahap produksi, Aceh diprediksi akan mampu berkontribusi bagi pencapaian target produksi 1 juta barel/hari untuk minyak bumi dan 12 miliar standart cubic feet per hari untuk gas.
Gubernur juga menjelaskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, disebutkan bahwa Aceh memiliki keistimewaan dalam pengelolaan dan penentuan sistem bagi hasil migas yang ada di wilayah Aceh.
Dalam menjalankan kewenangan tersebut, Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam (SDA) Migas Aceh mengamanatkan dibentuknya BPMA. BPMA bertugas sebagai lembaga pengendalian dan pengawasan kontrak kerja sama migas di Aceh.
Dalam aktivitasnya, sebagai sebuah badan pemerintah, BPMA bertanggungjawab kepada Gubernur Aceh dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI.
Untuk menjalankan aktivitasnya Kontraktor KKS membutuhkan banyak elemen atau material. Guna memenuhi kebutuhan itu, Gubernur mengimbau agar KKKS melibatkan perusahaan lokal untuk kegiatan pengadaan barang dan jasa, agar keberadaan perusahaan migas di Aceh dapat menggerakkan ekonomi daerah tersebut.
Setiap perusahaan yang masuk dalam daftar K3S merupakan perusahaan besar yang telah berpengalaman dalam bisnis pertambangan migas dunia dengan sistem kerja profesional. Karena itu, sistem pengadaan barang dan jasa yang berjalan di perusahaan-perusahaan ini juga membutuhkan pelayanan profesional.
“Setiap komponen barang/jasa yang dibutuhkan perusahaan pastilah harus memiliki standar di atas rata-rata. Hal ini dikarenakan kerja di bidang migas bersifat jangka panjang serta membutuhkan ketelitian dan kedisiplinan tinggi. Jika sistem pengadaan barang dan jasa tidak berjalan baik, tentu kegiatan operasi hulu yang dijalankan akan terganggu,” kata Gubernur.
Gubernur menambahkan, pihak KKKS sangat selektif dalam memilih perusahaan supplier sebagai mitra kerja mereka. Karena itu, jika ingin menjadi bagian dari mitra kerja KKKS, maka perusahaan-perusahaan di Aceh, harus bisa menyesuaikan diri dengan sistem kerja tersebut.
“Prinsip mendasar dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa haruslah efisien, efektif, jujur, terbuka dan bersaing, akuntabel, adil dan tidak diskriminatif. Hal ini harus benar-benar dapat dijalankan dengan baik. Semua transaksi harus transparan dan kompetitif. Dengan prinsip ini, kerjasama yang dibangun akan lebih baik dan harmonis,” tandas Gubernur.
Sebagai pihak yang mendorong bagi pemanfaatan vendor lokal, Gubernur berharap, perusahaan penyedia barang dan jasa di Aceh dapat memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.
“Kadin sebagai wadah berhimpun pengusaha dapat menjadi fasilitator dan mediator agar keterlibatan pengusaha lokal akan lebih maksimal, sehingga tujuan membangun kolaborasi strategis dalam meningkatkan produksi hulu Migas Aceh dan penguatan kapasitas nasional dapat terwujud,” harap Gubernur. (*)
Kontributor: Bachtiar Adamy
Editor: Darto Wiryosukarto